Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Langkah Mendesak Penyediaan BBM Euro 4

Indonesia perlu segera meningkatkan standar BBM menjadi Euro 4. Demi memperbaiki kualitas udara. 

7 Desember 2024 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Jumlah kematian yang berkaitan dengan polusi udara luar ruangan terus meningkat di Indonesia, mencapai 130 ribu pada 2021.

  • Sayangnya, BBM yang tersedia di Indonesia masih sangat kotor, seperti biosolar dan Pertalite.

  • Saat ini pemerintah masih membiarkan penjualan diesel CN 51 dengan kandungan sulfur jauh di atas 50 ppm.

Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, Juli 2024, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan wacana pembatasan akses bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sekaligus meningkatkan kualitas BBM yang dipasarkan kepada masyarakat. Sayangnya, hingga peralihan administrasi ke pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, belum terlihat tanda-tanda realisasi aturan tersebut.

Kebijakan itu, terutama dalam hal peningkatan kualitas BBM, sudah sangat mendesak bagi Indonesia demi memperbaiki kualitas udara. Polusi udara merupakan ancaman serius bagi kesehatan masyarakat, terlebih bagi anak-anak. World Bank mengestimasi kerugian kesehatan yang diakibatkan oleh polusi udara di Indonesia mencapai US$ 41 miliar pada 2019. 

Udara bersih juga menjadi prasyarat pembangunan sumber daya manusia untuk mencapai Asta Cita dan visi Indonesia Emas 2045. Peningkatan kualitas BBM merupakan solusi jangka pendek paling mujarab untuk menekan polusi udara di perkotaan sehingga harus menjadi prioritas pada awal pemerintahan baru. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdasarkan data dari Global Burden of Disease, jumlah kematian yang berkaitan dengan polusi udara luar ruangan terus meningkat di Indonesia, mencapai 130 ribu pada 2021. Penyebab dominan dalam statistik itu adalah penyakit kardiovaskular dan gangguan pernapasan kronik. 

Pada anak-anak, artikel dalam jurnal Lancet mengindikasikan adanya kaitan antara polusi udara dan prevalensi stunting. Studi oleh Syuhada, dkk memperkirakan polusi udara di Jakarta mengakibatkan lebih dari 6.000 kasus stunting serta 1.000 kasus kelahiran yang buruk (termasuk kematian bayi, prematur, dan berat badan lahir rendah). 

Polusi udara luar ruangan, terutama pada daerah perkotaan, disebabkan oleh berbagai sumber emisi, baik bergerak maupun tidak bergerak. Beberapa studi menyimpulkan bahwa sektor transportasi jalan raya memiliki kontribusi terbesar dalam polusi udara perkotaan, melebihi kontribusi dari sumber lain, seperti pembangkit listrik, aktivitas industri, konstruksi, dan pembakaran sampah. Kajian Vital Strategies memperkirakan 32-57 persen polusi PM 2.5 di Jakarta bersumber dari asap knalpot kendaraan, bergantung pada musim dan lokasi. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk mengatasi polusi udara dari asap kendaraan bermotor, pemerintah mewajibkan produsen kendaraan bermotor roda empat atau lebih memenuhi baku mutu emisi setara dengan Euro 4 melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 20 Tahun 2017. Kendaraan dengan teknologi ini membutuhkan spesifikasi bahan bakar dengan kandungan sulfur di bawah 50 parts per million (ppm). BBM dengan kandungan sulfur tinggi merusak unit kontrol emisi pada kendaraan Euro 4 yang mengakibatkan emisi gas buang kendaraan menjadi lebih tinggi. 

Sayangnya, BBM yang tersedia di Indonesia masih sangat kotor. Misalnya biosolar dan Pertalite—dua BBM terpopuler di Indonesia—memiliki kandungan sulfur masing-masing 2.500 ppm dan 500 ppm. Di sisi lain, konsumsi BBM yang sudah selaras dengan standar Euro 4 masih sangat rendah, hanya sekitar 1 persen dari total penjualan BBM, karena harganya jauh lebih tinggi dibanding biosolar dan Pertalite yang disubsidi pemerintah.

Karena itu, perbaikan kualitas BBM merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap efektivitas peraturan baku mutu emisi kendaraan tersebut. Penelitian yang dilakukan IESR, RCCC UI, CORE Indonesia, dan KPBB memproyeksikan penggunaan BBM yang sesuai dengan spesifikasi Euro 4 dapat mengurangi emisi PM 2.5 dari kendaraan hingga 94 persen serta mengurangi jumlah kasus pneumonia hingga 86 persen pada 2030.

Rekomendasi Percepatan Penyediaan BBM Euro 4

Untuk menjamin kelancaran peralihan ke BBM Euro 4, pemerintah perlu memastikan tiga aspek, yaitu regulasi, ketersediaan produk, dan penyediaan anggaran. Dari aspek regulasi, fokus pertama adalah memperbaiki aturan spesifikasi bahan bakar yang belum memenuhi standar Euro 4. 

Hingga saat ini, hanya beberapa jenis bahan bakar yang diwajibkan memenuhi kandungan sulfur maksimal 50 ppm, yaitu diesel CN 51 serta bensin RON 95 dan RON 98. Bahan bakar lain yang memiliki pangsa pasar lebih, yaitu bensin RON 91 dan diesel CN 48, masih memiliki batas maksimal kandungan sulfur di atas 50 ppm, meski ditargetkan mencapai 50 ppm secara bertahap. Sedangkan bensin RON 90 belum memiliki target untuk mencapai 50 ppm. Regulasi untuk bensin RON 90 perlu direvisi dengan menambahkan target pengurangan kadar sulfur secara bertahap.

Fokus kedua adalah penguatan penegakan aturan. Saat ini pemerintah masih membiarkan penjualan diesel CN 51 dengan kandungan sulfur jauh di atas 50 ppm, meskipun hal tersebut melanggar aturan. Pemerintah harus berani memberikan sanksi bagi pelanggar, alih-alih merevisi aturan dengan target yang lebih rendah, seperti yang beberapa kali dilakukan pemerintah. Contohnya, kandungan sulfur CN 48 yang ditargetkan menjadi 500 ppm pada Januari 2024 digeser menjadi Desember 2024 melalui Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Nomor 170.K/HK.02/DJM/2023.

Berikutnya, pemerintah perlu memastikan ketersediaan BBM Euro 4 di pasar. Saat ini penyediaan BBM domestik hanya mampu memenuhi sekitar 70 persen kebutuhan BBM dalam negeri. Dalam jangka pendek, penyediaan BBM Euro 4 melalui keran impor merupakan langkah awal yang dapat langsung diterapkan tanpa banyak persiapan infrastruktur, mengingat saat ini kilang Pertamina yang mampu menyediakan BBM Euro 4 baru Refinery Unit (RU) VI Balongan. Terlebih, tambahan biaya yang dibutuhkan untuk penyediaan BBM Euro 4 melalui impor diperkirakan lebih murah ketimbang memproduksi sendiri.

Kajian ICCT pada 2012 menunjukkan biaya tambahan untuk memproduksi bensin dan diesel dengan kandungan sulfur 50 ppm berkisar antara Rp 60-255 per liter bensin dan Rp 90-315 per liter diesel. Di sisi lain, merujuk pada kajian ICCT pada 2018, harga pasar internasional untuk diesel 50 ppm hanya Rp 50-150 lebih mahal per liter daripada diesel 500 ppm. Mempertimbangkan hal ini, pemerintah dapat mewajibkan semua BBM impor memenuhi standar Euro 4.

Selain itu, dengan prioritas pemenuhan BBM Euro 4 melalui keran impor, Pertamina bisa mempertimbangkan melakukan upgrade kilang langsung ke Euro 6. Pemerintah dapat mempersiapkan untuk makin memperketat peraturan baku mutu emisi kendaraan menjadi Euro 6 menyesuaikan dengan tren global. Hal ini akan mendukung daya saing industri otomotif dalam negeri di pasar ekspor.

Terakhir, pemerintah sebaiknya mengalokasikan anggaran tambahan untuk membiayai program peningkatan kualitas BBM sehingga BBM Euro 4 dapat dijual tanpa kenaikan harga serta tidak dirasa membebani masyarakat. Agenda reformasi subsidi BBM, meskipun penting, sebaiknya dipisahkan dari program peningkatan kualitas BBM untuk meminimalkan resistansi masyarakat.

Dengan asumsi penambahan harga di atas, diperkirakan kebutuhan tambahan anggaran untuk pengadaan BBM Euro 4 hanya Rp 5-11 triliun per tahun atau setara dengan 3 persen dari total anggaran subsidi dan kompensasi energi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025 yang sebesar Rp 390 triliun. Angka tersebut juga jauh di bawah estimasi kerugian ekonomi akibat polusi udara yang mencapai US$ 41 miliar pada 2019, menurut riset World Bank. 

Mempertimbangkan besarnya manfaat yang akan didapatkan, baik dari aspek lingkungan, kesehatan, maupun ekonomi, tidak ada alasan bagi pemerintah baru untuk menunda implementasi peningkatan kualitas BBM.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Senior Researcher IESR Julius Christian berkontribusi dalam penulisan artikel ini.


Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Reananda Hidayat

Reananda Hidayat

Program Officer Energy Transformation Institute for Essential Services Reform (IESR)

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus