TEMPO, 3 April 1993, pada beberapa tulisan tampaknya mencoba menampilkan sosok beberapa menteri baru kita, disertai dengan konsep dan programnya secara singkat, antara lain: 1. Dalam tulisan ''Agar Masyarakat Islam Tak Emosional'' (Agama), Menteri Agama mengatakan akan meneruskan kebijaksanaan menteri yang lama dan berjanji akan melanjutkan program-program yang pernah dicanangkannya. Saya percaya bahwa Departemen Agama akan melaju lancar dalam Pelita VI ini di bawah pimpinan seorang alumni Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, yang merupakan ''orang lama'' di Departemen Agama. Tapi, sayangnya, entah karena keterbatasan waktu, wawancara atau arahan pertanyaan wartawan TEMPO yang muncul pada tulisan itu terasa ''sempit''. Dalam wawancara itu hanya terpapar program pengiriman mahasiswa IAIN ke luar negeri (Barat), harakat islamiyah, jemaah haji, zakat ONH, hisab dan rukiyat, dan hakim agama. Ini yang menyangkut agama Islam. Sedangkan yang bisa menyangkut umum hanyalah pernyataan Menteri, ''Saya akan menjadikan pejabat Departemen Agama sebagai manajer profesional, sekaligus intelektual dan pemimpin umat.'' Padahal, kita tahu, di bumi Pancasila ini ada lima agama yang diakui dan berkembang. Lalu bagaimana program untuk agama lainnya: Kristen, Katolik, Budha, dan Hindu? 2. Wawancara dengan Menteri P dan K yang baru juga terasa singkat. Atau, mungkin juga terlalu dini, sehingga belum muncul konsep atau program beliau. Masalah dalam pendidikan dan kebudayaan tidak terbatas pada ''ganti menteri, ganti kurikulum'' dan NKK, tapi bisa lebih luas dari itu. Begitu pula tentang kebudayaan: terasa ditinggalkan karena ''termakan'' oleh masalah pendidikan. Sebagai seorang pegawai negeri sipil di lingkungan Departemen P dan K, saya ingin pula agar di kemudian hari TEMPO bisa memaparkan pendidikan dan kebudayaan ini dengan lebih luas lagi, terutama agar bisa diketahui masyarakat luas, dan mereka akan merasa ikut bertanggung jawab dalam menjalankan pendidikan dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia. Di bidang kebudayaan, masyarakat pun bisa merasa memiliki serta tahu sedikit lebih baik kebudayaan bangsa kita dan juga budaya bangsa lain. Harapan saya, TEMPO bisa lebih pas lagi. Memang ''enak dibaca dan perlu'' itu perlu. HARDHONO SUSANTO Staf Pengajar FK-Undip Semarang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini