Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERHADAP Prita Mulyasari, "kelas" menengah Indonesia semestinya malu hati. Pada Juni 2009, ia masuk bui karena mengirim surat elektronik akibat kecewa atas pelayanan Rumah Sakit Omni, Tangerang. Jutaan orang membelanya melalui ÂFacebook dan Twitter—selain menggelar aksi "Koin untuk Prita".
Tiga tahun kemudian, para pembela itu entah ke mana. Mungkin sibuk Âmengelus perut setelah menyantap tenderloin steak yang dimasak medium rare di satu restoran fine dining seraya bergunjing tentang iPad terbaru. Adapun Prita belum bebas. Ia menunggu vonis peninjauan kembali setelah dihukum enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun oleh majelis kasasi Mahkamah Agung.
Saat ini Prita tak lagi berani mengeluh di jejaring sosial, khawatir mempengaruhi putusan Mahkamah. Berterima kasih atas dukungan banyak orang selama ini, kini Prita mengaku kesepian. Kita kerap mendengar keluhan tentang ketidakpedulian "kelas" menengah. Para pembaca Marx dengan sinis menyindir "kelas" ini sebagai parasit yang menempel pada tubuh kapitalisme. Inilah "kelas" tanpa kehendak "revolusi", dan menghamba pada rasa aman diri sendiri.
Satu penelitian yang dilakukan Merlyna Lim dari Arizona State University, Amerika Serikat, menyebutkan "kelas" ini menggunakan media sosial melulu untuk mengeluh—tentang kemacetan atau listrik yang byar-pet—tanpa berupaya menyatukan diri untuk sebuah perubahan sosial. Merlyna menyebutnya click activism, gerakan yang hampir tanpa risiko.
Isu Prita Mulyasari dan Bibit-Chandra—komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi yang dikriminalisasi oleh polisi—hanya pengecualian. Mengutip penelitian itu: 99 persen gerakan yang mencoba meniru Bibit-Chandra dan Prita gagal. Jangan kaget: topik terpopuler Twitter di Indonesia sepanjang 2011 bukan kasus cek pelawat atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang menjadi beking penyelundup BlackBerry. Yang banyak dikicaukan justru soal Briptu Norman—polisi yang mendadak kondang akibat mendendangkan lagu India di situs YouTube.
Di Indonesia, "kelas" ini terus tumbuh. Berpatokan pada data Bank Dunia, orang yang masuk kelompok ini berjumlah 130 juta, atau 56,5 persen penduduk Indonesia. Pada 2020, Indonesia akan bertengger pada posisi kedelapan dalam hal jumlah orang "kelas" menengah. Sepuluh tahun kemudian, Indonesia diperkirakan naik ke posisi keempat, setelah India, Cina, dan Amerika Serikat. Saat ini hampir 70 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia digenjot oleh sektor konsumsi yang ditopang golongan ini. Konsumsi domestik inilah yang dipercaya menyelamatkan Indonesia dari krisis ekonomi 1998 dan 2009.
Peran ekonomi "kelas" menengah ini selayaknya tak diabaikan pemerintah. Permintaan mobil dan sepeda motor yang meningkat saban tahun harus diikuti oleh tersedianya penambahan jalan raya yang memadai. Proyek mobil nasional mesti digenjot sehingga belanja mobil tak hanya dinikmati negara produsen otomotif, tapi juga masuk ke negeri sendiri. Kebutuhan akan sektor jasa dan hiburan semestinya diantisipasi. Fasilitas rumah sakit yang tak baik membuat banyak orang dari kelompok kaya baru itu berobat ke Singapura dan Malaysia. Fasilitas keamanan yang buruk membuat banyak penyanyi kondang memilih konser di Negeri Singa—dengan sebagian besar penonton dari Jakarta.
Indonesia semestinya berkaca pada Cina. Negara itu secara maksimal telah memanfaatkan "kelas" menengahnya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Ketika pada 2008 terjual 1,3 juta unit mobil untuk pasar dalam negeri, pemerintah Cina sudah siap dengan infrastruktur jalan raya yang patut. Saat ini Negeri Panda memiliki jalan tol terpanjang di dunia. Hal yang kurang-lebih sama terjadi di Korea Selatan pada 1980-an dan Jepang pada 1960-an.
Peran golongan menengah dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi haruslah diikuti oleh peran mereka sebagai motor perubahan. Memang di sana-sini kita telah menyaksikan geliat mereka, tapi dalam proporsi yang terbatas. Gerakan "Bike to Work" dan aksi membebaskan jalur pedestrian dari pengendara sepeda motor bisa merupakan contoh.
"Kelas" menengah perlu lebih aktif dalam dunia politik. Mengumpat pemerintah tapi enggan berangkat ke bilik suara hanya memperkuat kesan mereka sebagai Mat Nyinyir. Masuk ke partai politik banyak manfaatnya—tentu dengan tekad tak ikut busuk seperti politikus yang selama ini kisrah-kisruh. Jika tak ingin jalur formal, bisa juga membentuk lembaga swadaya masyarakat atau terlibat dalam organisasi yang sudah ada.
Buang jauh-jauh pikiran bahwa mengusahakan perubahan di negeri ini seperti menghadapi tembok mahatebal. Dengan jumlah besar dan kemampuan ekonomi yang baik, kelompok muda dan berduit itu sebetulnya bisa menjebol penghadang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo