Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBELAS bulan berlalu sejak pemerintah menyerahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset terkait dengan tindak pidana (RUU Perampasan Aset atau RUU PA) kepada parlemen. Namun DPR tak kunjung membahas draf aturan tersebut. Publik pun santer mengkritik berlarut-larutnya proses ini dan mendesak parlemen segera memulai musyawarah yang inklusif atas RUU tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUU PA memang memiliki beberapa isu yang perlu ditinjau ulang. Antara lain soal distribusi wewenang penegakan hukum dalam fase investigasi, litigasi, dan manajemen aset. Meski demikian, RUU itu tetap merupakan terobosan inovatif yang layak diadvokasikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berkaitan dengan peran dan tujuan RUU PA, yang sering dipromosikan sebagai obat manjur untuk masalah pemulihan aset-aset hasil kejahatan, artikel ini berargumen bahwa upaya mengundangkan RUU PA barulah separuh dari solusi yang dianggap mujarab tersebut. Agar benar-benar manjur, perlu ada upaya tambahan, yakni reformasi hukum pada legislasi antikorupsi.
Kondisi tersebut tidak bisa dipisahkan dari batas-batas konseptual RUU Perampasan Aset. Kontras dengan perampasan aset tradisional yang didasarkan pada penjatuhan pidana terhadap terdakwa, RUU PA mengedepankan suatu instrumen yang dalam literatur dikenal sebagai perampasan tanpa pemidanaan (PTP). Istilah ini merujuk pada perampasan terhadap aset pidana yang tidak memerlukan penuntutan dan penjatuhan pidana atas pelaku kejahatan (Boucht, 2017).
Walaupun bentuk dasar PTP telah diadopsi dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang, RUU PA mengatur mekanisme PTP yang lebih komprehensif. Menukil Campbell (2007), PTP dipandang sebagai respons adaptif pemerintah untuk menangani masalah mutakhir yang tak dapat diselesaikan dengan metode-metode konvensional proses pidana.
Dalam hal ini, masalah itu mewujud ketika, misalnya, penegak hukum dalam penyidikannya menemukan indikasi kuat suatu kejahatan menghasilkan keuntungan finansial, tapi pelakunya tak dapat dituntut secara pidana karena alasan absen atau kematian. Karena itulah, beberapa sarjana menggarisbawahi bahwa PTP merupakan pelengkap, bukan pengganti penuntutan secara pidana (Brun et al., 2021; Boucht, 2022).
Dengan latar belakang tersebut, RUU PA menentukan bahwa PTP dapat diajukan terhadap aset yang diduga berhubungan dengan tindak pidana, tapi tersangka/terdakwanya meninggal, melarikan diri, menderita sakit permanen, keberadaannya tak diketahui, atau telah diputuskan lepas oleh pengadilan. PTP dapat pula dilaksanakan jika suatu perkara pidana tidak dapat disidangkan, atau jika aset pidana lain baru ditemukan setelah terdakwa dipidana oleh pengadilan.
RUU Perampasan Aset juga memungkinkan dilakukannya perampasan tanpa pemidanaan terhadap aset yang tidak seimbang dengan pendapatan sah seseorang. Hal ini, menurut beberapa analis, merupakan salah satu keunggulan RUU PA. Namun pelaksanaan perampasan aset dalam konteks ini pun harus tetap merujuk pada aturan umum di atas. Konsekuensinya, dalam menyasar aset tidak seimbang, PTP tidak dapat diterapkan dalam perkara jika pelakunya dapat dituntut pidana. Di samping itu, ketentuan tersebut memiliki kompleksitas tersendiri karena ada syarat prakondisi: aset tidak seimbang tersebut berkaitan dengan aset hasil tindak pidana lain.
Perlu Dibarengi Revisi UU Tipikor
Untuk menghadapi keterbatasan inheren perampasan tanpa pemidanaan tersebut, solusi lebih lanjut yang dapat dilakukan adalah dengan mendorong pembaruan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Paling tidak, ada dua tujuan yang dapat dicapai dengan pemberlakuan revisi UU Tipikor. Pertama, ketidakseimbangan signifikan antara aset seorang pejabat publik dan pendapatannya yang sah hanya dapat dituntut jika perbuatan memperkaya diri secara tidak sah (illicit enrichment) telah dikriminalisasi.
Berbeda dengan perampasan tanpa pemidanaan yang merupakan instrumen prosedural, memperkaya diri secara tidak sah merupakan tindak pidana. Delik memperkaya diri secara tidak sah beroperasi dalam kerangka penuntutan yang menjatuhkan sanksi pidana kepada terdakwa.
Dengan diaturnya perbuatan tersebut dalam perubahan UU Tipikor, upaya menanggulangi masalah peningkatan kekayaan pejabat publik secara ilegal dilakukan melalui jalur penuntutan pidana. Meski demikian, perlu digarisbawahi, delik ini hanya menyasar subyek “pejabat publik”. Sementara itu, perampasan aset tidak seimbang dalam RUU PA berlaku terhadap semua individu.
Kedua, untuk tujuan pemulihan aset kejahatan, pembaruan UU Tipikor harus memberlakukan rezim sanksi finansial yang lebih responsif dengan memasukkan kalkulasi atas biaya sosial kejahatan korupsi (Pradiptyo, 2011; KPK, 2019) serta memperhitungkan keuntungan finansial yang diperoleh pelaku dan kerugian korban korupsi (Valerian, 2019). Skema sanksi ini dapat mengurangi disparitas terjal antara kerugian akibat korupsi dan kompensasi yang harus dibayar pelaku untuk memulihkannya.
Menurut riset ICW (2023), kerugian negara akibat korupsi pada 2022 mencapai Rp 48,7 triliun. Sedangkan uang pengganti yang harus dibayarkan terdakwa hanya Rp 3,8 triliun. Lebih lanjut, perlu juga adanya perumusan mekanisme baru untuk menyalurkan pembayaran kerugian oleh pelaku korupsi secara langsung kepada korban.
Dengan demikian, RUU PA dan revisi UU Tipikor akan membentuk kerangka kerja yang integral dan komprehensif untuk menyelesaikan masalah aset hasil kejahatan. Agar pemerintah dan DPR tak menyia-nyiakan kesempatan, meloloskan kedua legislasi tersebut menjadi suatu hal yang imperatif.
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.