Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo dan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin sudah semestinya menjamin pengusutan perkara rasuah ini tuntas tanpa gangguan pihak mana pun.
Guna membuktikan dukungan tersebut, Lukman selayaknya nonaktif dari jabatan. Langkah ini diperlukan untuk memperlancar proses penyidikan komisi antikorupsi yang sudah menemukan bukti praktik lancung jual-beli jabatan di kementerian yang dipimpinnya. Dalam sorotan publik dan investigasi KPK, sulit berharap Lukman bekerja optimal.
Romahurmuziy ditangkap petugas KPK sesaat setelah menerima suap di sebuah hotel di Surabaya pada Jumat, 15 Maret lalu. Selain menangkap Romy—demikian Romahurmuziy disapa—KPK mencokok Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur dan Kepala Kantor Kementerian Agama Gresik, yang baru beberapa bulan dilantik. Operasi tangkap tangan ini berlanjut: menyegel sejumlah ruangan di Kementerian Agama, KPK menemukan uang Rp 600 juta di ruang kerja Lukman. Menurut Komisi, uang dalam pecahan rupiah dan dolar Amerika Serikat itu terkait dengan perkara suap Romy.
Indikasi keterlibatan Lukman sebetulnya sudah terlihat jauh sebelum Romy diciduk. Lukman diketahui melantik Haris Hasanudin, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur, penyogok Romy, meski ia tidak direkomendasikan Komisi Aparatur Sipil Negara karena pernah mendapat sanksi disiplin.
Tidak hanya di Jawa Timur, praktik serupa terjadi pada penunjukan kepala kantor wilayah di sejumlah daerah, seperti Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Lukman dicurigai mengambil jalan pintas dengan memilih pejabat yang tidak direkomendasikan panitia seleksi. Tidak melulu penetapan kepala kantor Kementerian Agama, pemilihan rektor universitas Islam negeri dan kepala sekolah tinggi agama di sejumlah daerah diduga juga diwarnai aksi kongkalikong.
Peluang itu sangat besar mengingat kewenangan Menteri Agama sangat besar dalam pemilihan rektor. Dalam Pasal 8 Peraturan Menteri Agama Nomor 68 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor dan Ketua Perguruan Tinggi Keagamaan dinyatakan bahwa penetapan dan pengangkatan rektor dilakukan sepenuhnya oleh Menteri Agama. Cara ini berbeda dengan aturan penetapan rektor universitas negeri lainnya: Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi sebagai wakil pemerintah hanya memiliki 35 persen suara.
Tanda-tanda lemahnya pengawasan di Kementerian Agama juga terlihat ketika Lukman tidak segera mengisi posisi inspektur jenderal yang sebelumnya ditempati mantan komisioner KPK, M. Jasin. Belakangan. Nur Kholis Setiawan, yang ditunjuk menggantikan Jasin, malah diminta juga menjadi sekretaris jenderal.
Rangkap jabatan yang berbahaya: dua bidang yang dipegang Nur Kholis sejatinya bertolak belakang. Yang satu melaksanakan program, sedangkan yang lain mengawasi pelaksanaan program. Kita tahu, pejabat inspektorat jenderal semestinya independen karena menjalankan fungsi kontrol internal. Apalagi Kementerian Agama banyak menjalankan tugas dengan uang besar, seperti pengelolaan haji dan penyelenggaraan pendidikan agama dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Praktik lancung di Kementerian Agama boleh jadi telah berlangsung lama. Karena itu, KPK harus memeriksa semua pengangkatan pejabat di era Menteri Lukman. Aliran dana rasuah juga harus ditelisik. Penelusuran ini sangat penting karena praktik jual-beli jabatan di instansi pemerintah memiliki daya rusak yang lebih berat ketimbang praktik korupsi lain. Rasuah dalam penempatan pejabat mengakibatkan terjadinya korupsi berkelanjutan: pejabat yang membayar akan melakukan korupsi lagi agar kembali modal. Kepentingan publik pun dikorbankan. Pejabat yang terpilih bisa dipastikan tidak kompeten. Setelah menjabat, mereka akan membuat pelbagai keputusan lancung dan transaksional—bukan kebijakan yang mempertimbangkan kepentingan orang ramai.
Komisi harus memastikan apakah duit suap berhenti pada individu atau masuk kas Partai Persatuan Pembangunan—organisasi sosial politik tempat Romy dan Lukman berasal. Untuk menuntaskan perkara, pasal pencucian uang selayaknya dipakai. Partai harus dihukum jika, untuk menjalankan roda organisasi, terbukti menerima duit haram.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo