Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bayangkan tuan seorang penganut Ahmadiyah…. Ah, saya salah. Bayangkan tuan seorang mus-lim di Kota Foca, di tikungan Sungai Drina yang deras di antara pegunungan lebat di Bosnia Timur. Bayangkan ini musim semi 1992.
Pohon-pohon menghijau lagi, tapi tuan ketakutan. Milisia Serbia dan Montenegro telah mengambil alih ko-ta itu. Semua keluarga muslim tak boleh keluar rumah. Se-telah itu, penangkapan dimulai. Tuan ikut digiring. Ba-yangkan tuan dibariskan ke sebuah kamp. Di tengah jalan, tuan i-ngin sejenak menengok ke arah Masjid Aladza.
Beberapa pekan lalu tuan salat di dalamnya, di atas permadani berhiaskan kembang jingga dan merah, tak jauh dari mimbar yang agak dekat ke tembok sebelah kanan, dekat jendela kaca setinggi dua meter. Tapi hari itu, pasu-kan Serbia dan Montenegro yang menang, atas nama sebuah iman dan kebencian, telah memasang sejumlah di-namit. Tak lama kemudian, ledakan dahsyat terdengar. Mas-jid yang dibangun pada tahun 1551 itu, sebuah khazanah yang berharga, sebuah tempat ibadah yang cantik, luluh-lantak.
Di Foca kekejaman tak hanya itu: perempuan-perempuan diperkosa untuk menis-ta, laki-laki dibantai, penghuni digusur. Kese-we-nang-wenangan juga merengkuh tempat-tempat lain, seperti Srebrenika atau, yang kurang terkenal, Pocitelj, kota kecil cantik di sebuah bukit di atas Sungai Neretva, di selatan Mos-tar. Di sana selama 500 tahun lamanya orang Islam dan Kristen hidup berdampingan. Tapi pada Agustus 1993, semua berubah. Pasukan Kroasia menghancurkan masjid tua kota itu, sebelum menggiring orang-orang muslim ke kamp konsentrasi, seperti pasukan Nazi dulu menggiring orang Yahudi.
Apa akhirnya? Bukankah rasa puas hati dari kebrutal-an dan vandalisme itu hanya akan bisa dinikmati bebera-pa bulan saja? Pada dasarnya yang didapat orang-orang bersenjata yang fanatik itu memang sia-sia. Kehancuran peninggalan sejarah dan kampung halaman tak ternilai aki-batnya, korban jiwa memang mengerikan, dan dalam hal destruksi itu mereka berhasil. Tapi orang-orang yang bersikap aniaya itu akhirnya dikutuk dan dihukum dunia. Kalaupun mereka tak tertangkap, mereka juga tak dapat dikatakan telah menang. Yang dianiaya tak jadi punah, tak kunjung punah, dengan atau tanpa iman yang teguh.
Tema itulah yang tampaknya selalu berulang dengan se-gala variasinya dalam sejarah: pelbagai anasir dalam agama, apa pun ekspresinya, membentuk valensi yang ber-ubah-ubah sebagai sebuah kekuatan. Ia bersifat ”X” ke-tika pemeluknya ditindas, dan ia bersifat ”Y” ketika pe-meluknya menindas.
Dalam sajaknya yang terkenal William Blake bertanya ke-pada harimau, makhluk ciptaan Tuhan yang mempeso-na-nya itu: ”Did he who made the Lamb make thee?”--ada-kah ia yang menciptakan domba juga menciptakanmu? Tuhan selamanya ditafsirkan. Kita tak pernah berhubung-an langsung dengan Dia. Dalam sajak Blake yang penuh pertanyaan itu, Tuhan dapat dibayangkan sebagai kemaha-kuasaan yang membuat domba yang lemah itu selamat tapi juga membuat macan yang ganas tampil gagah.
Agama, di kancah pemeluk yang kuat dan berkuasa, de-ngan gampang membuka godaan untuk memilih Tuhan se--bagai sang pencipta si raja hutan: Tuhan yang mengha-dir-kan kekuasaan, kecurigaan, dan kekerasan sebagai kele-bihan makhluk-Nya.
Tapi sebenarnya di balik godaan itu ada keyakinan yang cemas. Justru ketika para pemeluk yang teguh memba-yangkan Tuhan sebagai kuasa yang penuh amarah dan cemburu, mereka merasakan ada lubang yang masih menganga dalam hidup. Seorang ”pembela Tuhan” atau sekelompok ”pembela Islam” yang merasa mendapatkan mandat dan kekuatan dari Dia tentu menginginkan agar kehendak Tuhan terlaksana, agar bumi jadi bersih dari apa saja yang najis dan mencong. Mereka siap, bila ada yang dianggap mengganggu Sabda-Nya, untuk membuat manusia disingkirkan, masjid didinamit, gereja dibakar, atau kuil diruntuhkan. Tapi pada akhirnya selalu terbukti: gerak kehidupan lebih rumit ketimbang jalan yang lurus; hidup manusia ibarat lubuk yang kedap cahaya--bahkan jika cahaya itu datang dari iman yang kuat.
Semakin terasa lubang kekurangan itu, semakin besar nafsu meluruskan jalan manusia. Dan orang pun lupa bahwa ajaran agama mana pun tak pernah menyimpan asumsi bahwa yang suci sama dengan yang lempang dan terang. ”Cahaya” yang sering muncul dalam kiasan kitab suci lebih merupakan ”cahaya” yang menyentuh, mempesona, menyebabkan kita tergetar, bukan cahaya yang seperti neon dengan sinar yang mereduksi bayang-bayang. Sebuah sajak Amir Hamzah menyebut cahaya Tuhan se-bagai ”kerdip lilin di kelam sunyi”, sinar yang sabar, setia, selalu, dan tak mantap. Cahaya itu tampak demikian justru karena ia hadir di tengah kegelapan--dan dalam arti tertentu, ia bagian dari malam. Rudolf Otto, seorang pemikir Lutheran, mengaitkan yang-suci dengan yang-misterius, dengan sesuatu yang tak dapat diuraikan, dibuktikan, atau diargumentasikan, dan hanya bisa dialami dalam das numinose Gefühl.
Dengan kata lain, yang suci bukanlah tempat memperoleh klarifikasi tentang hal-ihwal hidup. Agama apa pun me-ngandung pengakuan yang mendasar kepada enigma nasib, kelahiran dan kematian--dan sebab itulah agama bisa menumbuhkan kerendahan hati.
Terutama jika kita, para pemeluk, berdiri di pihak yang ter-ancam dan tak tahu bisakah berharap. Kita akan ter-desak bertanya, apa gerangan kehendak-Nya, dan kita tahu bah-wa kita tak tahu. Satu hal pasti: dalam keadaan yang celaka itu, kita tak mungkin mengatakan: ”akulah kehendak itu”. Kita tak hendak menjadikan diri kita pengganti-Nya.
Tak adanya ketakaburan itu menyebabkan agama bisa dipeluk dengan kuat karena rela. Mungkin itulah yang dirasakan seorang muslim di Srebrenika…. Ah, saya salah. Mungkin itulah yang dirasakan seorang Ahmadiyah di Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo