Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agung Y. Achmad
”... terang saja aku merindunya, ...”
Demikian kelompok Padi menyanyikan lagu berjudul Begitu Indah. Penggunaan nya dalam lirik lagu itu lucu, dan aneh. Lalu ada Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dan Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Dua novel yang menuai pujian itu ternyata tak luput dari penggunaan imbuhan nya yang tidak tepat. Pada Laskar Pelangi tertulis: ”... Maka tak ada yang berani bikin gara-gara dengannya karena ia tak pernah segan mencakar” (halaman 75). Akan lebih baik jika Andrea Hirata menulis: ”... Maka, tak ada yang berani bikin gara-gara kepada Sahara, karena dia tak pernah segan mencakar.” Penggunaan imbuhan nya yang aneh pada novel Ayat-ayat Cinta terlampau banyak, misalnya pada kalimat: ”... Kau terlalu sedikit mencicipinya” (halaman 254). Habiburrahman bisa menghindari ”mencicipinya” bila ia lihai mencari kata ganti susu.
Penggunaan imbuhan nya seperti pada beberapa kalimat di atas memang kebiasaan kita dalam berbahasa sehari-hari. Bahkan pencantuman nya seperti itu dibenarkan EYD (Ejaan yang Diperbaharui). Kalimat seperti ”Andi itu keponakannya Laras” sering kita dengar. Imbuhan nya, mungkin lantaran enak didengar, terlampau sering diucapkan orang sebagai kata empunya pihak kedua, seperti pada kalimat-kalimat: Katanya kamu datang berdua, mana istrinya?; Kamu alamatnya di mana?
Sesungguhnya, fungsi nya adalah kata ganti milik orang ketiga tunggal. Karena itu, nya berperan sebagai akhiran yang akan melekat pada kata benda atau kata kerja yang dibendakan, seperti bukunya, mobilnya, pembicaraannya, kepergiannya. Tapi, kini, nya seolah-olah mengalami perluasan fungsi, yakni bisa dipergunakan sebagai kata ganti pihak ketiga jamak atau tunggal. Bahkan nya lazim dilekatkan pada kata kerja, baik aktif maupun pasif, seperti pada dikerjakannya, diterbitkannya, dibacanya, menyebutnya, menciumnya. Sehingga orang terbiasa menggunakan kata-kata: dengannya, terhadapnya, tanpanya, katanya, ujarnya.
Hampir semua media massa pada saat ini berada dalam arus besar penggunaan nya yang tidak tepat itu. Tengok kalimat ”Wakil Ketua FPPP Chozin Chumaidy meminta Cak Imin agar bisa mengambil pelajaran dari peristiwa politik yang dialaminya (detik.com, 1 April 2008, 13.36 WIB). Mengapa kata ”dialaminya” tidak ditulis ”dia alami”? Kasus serupa bisa dijumpai pada kalimat: ”... Ketika seorang pejabat melakukan tindakan tercela, kita menyebutnya sebagai oknum” (Media Indonesia, 21 November 2007).
Imbuhan nya sebagai kata ganti ketiga atau obyek pada suatu kalimat memang telah lazim digunakan banyak orang. Mungkin, itulah yang dimaksud Goenawan Mohamad bahwa bahasa adalah kesepakatan umum. Goenawan tidak menolak bila nya tersemat pada kata kerja. Dalam Catatan Pinggir ”Fouda” (Tempo, 3-9 Maret 2008), ia menulis: ”... Maka perkara jadi runcing dan mereka mengepung Usman—lalu membunuhnya, lalu menistanya.” Imbuhan nya pada kata ”membunuhnya” adalah pengganti Usman, sebagaimana nya pada kata ”menistanya”.
Banyak cara untuk meninggalkan kebiasaan menggunakan nya yang tidak tepat. Pertama, kembalikan fungsi asli imbuhan nya sebagai kata ganti milik pihak ketiga tunggal. Kedua, susunlah kata-kata sesuai dengan pola kalimat pasif atau aktif. Ubahlah kalimat Buku itu telah dibacanya menjadi Buku itu telah ia baca. Bila dibikin bentuk aktif, kalimat yang benar adalah Ia telah membaca buku itu dan hindari menulis Ia telah membacanya. Ketiga, rajin-rajinlah mencari kata ganti pihak ketiga.
Andai EYD tetap melegalkan penggunaan nya seperti pada contoh-contoh kalimat di atas yang, menurut saya, keliru, pertimbangan berikutnya adalah soal kompatibili-tas bahasa Indonesia terhadap bahasa asing-internasional. Ini terkait erat dengan proses sebaran komunikasi dan kualitas transliterasi antarbahasa—dari bahasa Indonesia ke bahasa asing dan sebaliknya—hingga citra bangsa ini pada tingkat tertentu dalam pergaulan dunia internasional.
Misalnya, kata ”dibacanya” atau ”diceritakannya” sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, kecuali translatornya adalah orang Indonesia. Toh, ”dibacanya” ia artikan read by him/ her. Sepengetahuan saya, imbuhan nya tidak pernah bisa dilekatkan pada kata kerja dalam tata bahasa mana pun.
Diduga, gejala penggunaan imbuhan nya yang aneh itu lahir dari praktek berbahasa Indonesia oleh orang-orang Jawa atau Sunda. Dengarlah ucapan banyak orang ketika menelepon: ”Halo, Asepnya ada?” Padahal tata bahasa baku di kedua bahasa daerah itu, sebagaimana EYD, tidak memberi toleransi kalimat seperti ini: ”Ibunya Joko sedang sakit”.
Selama ini, penerapan sufiks nya jarang dipersoalkan orang karena terasa enak. Saya sendiri belum lama meninggalkan kebiasaan menggunakan imbuhan nya secara sembarangan. Bagaimana dengan para pakar bahasa? Anda?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo