Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah kekonyolan terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu pekan lalu. Seorang jaksa membacakan tuntutannya terhadap Teguh Santosa, Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka online, yang didakwa melakukan tindak pidana penodaan agama karena gambar yang dimuat di situs Internetnya, 2 Februari silam. Dakwaan ini tak hanya dinilai oleh para pemuka agama Islam yang mengikuti kasus ini sebagai tudingan keliru, tapi juga mengada-ada.
Sebagai seorang wartawan, Teguh Santosa memang sempat memuat gambar kartun Nabi Muhammad yang diributkan itu di situs Internetnya sebagai pelengkap artikel kritis yang diturunkan. Namun, ia tak memampangkannya seperti aslinya. Sebagai seorang muslim yang saleh, ia merasa perlu menutup wajah kartun ini secara digital. Ia merasa hal itu perlu dilakukan untuk menghormati keyakinan sebagian besar umat Islam—termasuk dirinya—untuk tidak menampilkan gambar wajah Nabi Muhammad.
Siapa nyana, polisi dan jaksa yang memeriksanya malah berpendapat kiat penutupan wajah gambar itu justru merupakan penghinaan. Bahkan, tak lama setelah berkas perkaranya diterima Kejaksaan Tinggi Jakarta, Teguh Santosa sempat dijebloskan ke dalam tahanan. Alasan resminya hanya karena ancaman hukuman pasal KUHP yang dikenakan padanya adalah penjara lima tahun. Kenyataan bahwa ia selalu bertindak kooperatif selama diperiksa dan tak pernah berniat melarikan diri ataupun merusak barang bukti ternyata dicampakkan.
Beruntung, karena berita penahanannya dan protes organisasi para wartawan cukup nyaring, para petinggi di Kejaksaan Agung memperhatikan kasus ini dan menangguhkan penahanan Teguh keesokan harinya. Sayangnya, tindakan ini tidak diteruskan dengan penggunaan hak deponir tapi malah dilanjutkan dengan mengirim berkas ke pengadilan. Akibatnya, sidang pun bergulir dan sebuah bom kekonyolan kini menunggu waktu untuk meledak.
Bagaimana tidak. Kini pembela Teguh telah berhasil mendapatkan konfirmasi kesediaan beberapa tokoh agama Islam untuk memberikan kesaksian yang menguntungkan terdakwa. Para ulama itu berasal dari berbagai organisasi, dari yang moderat hingga yang selama ini dikenal beraliran paling keras. Bila kesaksian ini jadi berlangsung, bayangkan citra yang muncul: pemerintah (dalam hal ini diwakili polisi dan jaksa) ternyata merasa lebih tahu tentang agama Islam ketimbang para ulama itu, dan—ini yang lebih memalukan—pemerintah menganut garis yang lebih keras ketimbang tokoh seperti Habib Riziek maupun Ustad Ba’asyir.
Ini jelas bukan citra yang diinginkan pemerintah. Itu sebabnya akan lebih kesatria bila kejaksaan sebaiknya segera memperbaiki kekeliruan yang telah terjadi, kalau perlu dengan melakukan tuntutan bebas. Biarkan persoalan media dan keyakinan agama diselesaikan di luar pengadilan, misalnya di Dewan Pers atau melalui dialog para pemuka agama. Waktu dan tenaga para polisi dan jaksa sebaiknya dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mengurus persoalan kriminal saja. Dengan demikian, kekonyolan tak perlu terjadi lagi di pengadilan kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo