Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Aksi 212 Sebagai Faktor Penentu

Hanya ada dua pasangan calon presiden-wakil presiden untuk Pemilihan Umum 2019, yaitu Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno.

14 Agustus 2018 | 05.40 WIB

Ribuan orang ikuti Aksi Bela Bangsa di area Alun Alun Utara Yogyakarta, Ahad, 3 Juni 2018. Aksi itu mengusung jargon #2019GantiPresiden. TEMPO/Pribadi Wicaksono
Perbesar
Ribuan orang ikuti Aksi Bela Bangsa di area Alun Alun Utara Yogyakarta, Ahad, 3 Juni 2018. Aksi itu mengusung jargon #2019GantiPresiden. TEMPO/Pribadi Wicaksono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Anies Said Basalamah
Dosen Kepemimpinan Politeknik Keuangan Negara STAN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Hanya ada dua pasangan calon presiden-wakil presiden untuk Pemilihan Umum 2019, yaitu Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno. Kedua pasangan ini akhirnya mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum setelah perjuangan alot di kedua kubu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keputusan keduanya menguatkan analisis saya tentang kesesuaian teori kepemimpinan locus of leadership yang cocok untuk kondisi pemilihan presiden di Indonesia. Teori ini menunjukkan persyaratan untuk menjadi pemimpin yang efektif, kalau ada perpotongan antara karakter pemimpin, pengikut, dan situasi-kondisi. Sementara dalam pemilihan-pemilihan sebelumnya karakter pemimpin lebih menonjol, dalam pemilihan tahun depan sepertinya terjadi pergeseran ke karakter pemilih dan situasi-kondisi yang berdampak pada pemilihan calon wakil presiden. Faktor itu adalah peristiwa 2 Desember 2016, yang lebih dikenal dengan sebutan Aksi 212.

Dari Aksi 212 tersebut, kesadaran umat Islam akan "kekuatan" mereka meningkat, bahkan kemenangan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI sering dikaitkan dengan Aksi 212. Kekuatan Aksi 212 sebagai faktor penentu mulai terlihat ketika partai-partai anggota koalisi Prabowo menyampaikan ijtima’ para ulama yang bersepakat agar calon presiden adalah Prabowo Subianto dan wakilnya Abdul Somad atau Salim Segaf Al Jufri. Publik mengenal model semacam ini dengan istilah politik aliran. Namun akhirnya kubu Prabowo tidak memilih Somad, Salim, ataupun ulama lainnya, melainkan Sandiaga.

Tanpa disadari, rupanya kubu Jokowi juga melihat politik aliran sebagai faktor penentu. Sambil meredam keinginan Cak Imin, yang ingin menjadi calon wakil presiden, Jokowi mengatasnamakan wakil dari unsur Nahdlatul Ulama (NU), dengan "ancaman" keluar dari koalisi kalau tidak dipenuhi, dengan memutuskan Ma’ruf Amin sebagai pendampingnya. Ini akhirnya diterima juga oleh Cak Imin karena Ma’ruf adalah Rais ‘Aam NU. Partai-partai pengusung Jokowi juga menyetujuinya. Tapi keputusan ini bukan tanpa risiko. Berikut ini permasalahan yang bisa timbul.

Pertama, menenangkan para fan Ahok, yang disebut Ahoker, karena selama ini mereka berpendapat Ma’ruf adalah penyebab Ahok turun dari jabatannya dan dipenjara. Kedua, Ma’ruf sudah berusia 75 tahun dan kondisinya tidak seprima JK. Salah satu foto yang beredar menunjukkan bagaimana Jokowi menggandeng Ma’ruf dan, meskipun Jokowi tersenyum lebar, Ma’ruf bahkan lebih mirip orang yang sulit berjalan. Perlu menjadi perhatian bagaimana kalau nantinya dia tidak lolos uji kesehatan? Apakah Jokowi dan partai-partai pendukungnya bisa menggantinya dengan calon wakil presiden baru? Apakah tidak muncul keributan baru?

Ketiga, meskipun pernah menduduki jabatan anggota Dewan Pertimbangan Presiden dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Ma’ruf tidak pernah mengepalai kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan birokrasi ataupun pemerintahan. Beberapa tugas presiden nanti didelegasikan kepada wakil presiden. Bagaimana beliau dapat menanganinya? Dengan empat menteri koordinator sebagai patokan, apa yang beliau ketahui mengenai pertahanan, perekonomian, kemaritiman, dan pembangunan manusia?

Di sisi lain, video penolakan Abdul Somad sebagai calon wakil presiden beredar luas, dan alasannya adalah ketidakmampuan dengan disertai hadis bahwa jika suatu masalah diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya. Dengan semakin banyaknya media sosial digunakan sebagai alat kampanye, ini tentu bisa digunakan para pendukung Prabowo untuk menyerang Ma’ruf.

Keempat, dalam kasus Islam Nusantara, Ma’ruf diberitakan menentang keputusan Majelis Ulama Indonesia Sumatera Barat yang menolak Islam Nusantara. Sebaliknya, beberapa ulama di kubu Prabowo juga menolak Islam Nusantara, yang diidentikkan dengan Jokowi dan Ma’ruf. Ini tentu sangat membahayakan kalau sampai meruncing, karena bisa berdampak perseteruan umat NU di kubu Ma’ruf dan di kubu ulama pendukung Prabowo.

Keputusan sudah diambil. Tinggal bagaimana Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandiaga menanggapinya. Sebagai pemilih, kita tetap diminta bertindak bijaksana dan tidak terprovokasi pemecah-belah bangsa.

Anies Said Basalamah

Kepala Biro Organisasi dan Ketatanelaksanaan (Organta) 2011-2013 dan dosen Politeknik Keuangan Negara (PKN) STAN.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus