Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia hendaknya lekas turun tangan memeriksa dugaan pemerasan miliaran rupiah yang kabarnya dilakukan jajaran Direktorat Reserse Narkoba dan Direktorat Intelkam Bagian Pengawasan Orang Asing di Kepolisian Daerah Metro Jaya terhadap enam warga Korea Selatan, akhir tahun lalu. Jika laporan ini benar, tingkah polisi pemalak itu sungguh telah mempermalukan nama Indonesia di mata negara tetangga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Enam warga Korea Selatan itu adalah para direktur dan pemegang saham perusahaan Snow Bay yang tertangkap basah melakukan pesta sabu di diskotek Golden Crown, Glodok, Jakarta Barat, pada awal Desember tahun lalu. Seharusnya mereka dan siapa pun- pejabat, artis, atau selebritas lain- yang terbukti kedapatan mengkonsumsi narkotik tidak boleh lolos dari jerat hukum. Hukum tak boleh tebang pilih dan mengistimewakan mereka yang berduit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Nyatanya, Direktur Utama Snow Bay Kim Dae-jin; anggota stafnya, Kim Son; serta empat tamunya- anggota direksi lain yang baru tiba dari Korea Selatan- hanya dibui lima hari. Dari dalam ruang tahanan Polda Metro Jaya, mereka menyanggupi permintaan dana yang diajukan polisi sebagai syarat pembebasan. Tanpa pikir panjang, Dae-jin memerintahkan stafnya mencairkan uang perusahaan Rp 1,6 miliar untuk memastikan dia dan kelima rekannya bisa melenggang keluar.
Sejam setelah uang berpindah tangan, enam warga Korea Selatan itu langsung dilepas dari kerangkeng. Empat orang buru-buru kabur ke negeri mereka tak sampai dua jam kemudian. Artinya, indikasi pelanggaran hukum di sini terang-benderang. Apalagi bukti adanya setoran uang sogokan, lokasi, waktu pertemuan, dan penyerahan suap, serta nama-nama polisi yang menerima fulus haram ini masih tersimpan rapi. Itu saja seharusnya sudah cukup untuk memulai penyidikan.
Memang, kabar soal perilaku lancung semacam ini bukanlah hal baru. Polisi tampaknya gampang tergiur jika berada dalam situasi rawan sogokan. Jangankan ekspatriat, warga lokal pun rawan dipalak jika berada dalam posisi serupa. Ada anggapan, jika ingin berurusan dengan polisi, ada "biaya" yang harus dibayar.
Pandangan khalayak tentang polisi narkotik malah lebih buruk. Operasi penggerebekan diskotek dan klub malam kerap dituding sebagai ajang mencari setoran. Banyak pemakai narkotik yang mengaku dipaksa membayar petugas agar hukumannya lebih ringan. Bahkan artis yang ditangkap karena memakai narkotik kerap dipakai sebagai bahan pencitraan untuk memoles kinerja polisi.
Karena itu, kasus ini sebenarnya tak terlalu mengejutkan. Apalagi selama ini ekspatriat, turis, dan warga asing umumnya memang cenderung menjadi "makanan empuk" polisi pemalak. Ketika terjerat kasus hukum, apalagi narkotik, mereka umumnya pasrah saja ketika dimintai suap. Mereka sadar posisi tawar mereka amat lemah karena biasanya tak memahami sistem hukum di Indonesia. Mereka juga cenderung mudah digertak dengan ancaman bui mahaberat serta tak keberatan merogoh kocek dalam-dalam demi sebuah jalan pintas.
Berbagai persepsi miring itu seharusnya membuat Mabes Polri bertindak lebih sigap. Tidak melakukan apa-apa bukanlah pilihan. Kepolisian harus membongkar kasus ini dan menghukum semua polisi yang terlibat. Tak boleh ada ampun atau kompromi dalam bentuk apa pun untuk pelanggaran semacam ini. Bagaimana Indonesia bisa dinilai aman jika polisi yang seharusnya melindungi warga justru sibuk memeras di sana-sini.