KETIKA Ali Topan melihat seorang polisi berdiri di dekat rumahnya dengan sepucuk senjata di tangan, dia terkadang merasa aman. Tapi terkadang juga merasa takut. Siapakah Ali Topan? Siapakah orang bersenjata itu? Para ahli yang tak diundang mengatakan bahwa dia, Ali Topan yang naik motor dengan helm yang pengap dan kecut, yang SIM-nya tidak cukup meyakinkan karena ia peroleh setelah nyogok, merupakan satu elemen masyarakat. Sedangkan orang berseragam dan bersenjata itu mewakili Negara: suatu kekuatan yang bisa memberikan proteksi, tetapi juga bisa opresif, karena kekuatan itu -- dalam sejarahnya, dan dalam undang-undang yang berlaku -- mempunyai monopoli atas penggunaan kekerasan. ''Masyarakat'' dan ''Negara'': dikotomi seperti ini memang tidak masuk dalam pikiran mereka yang menganggap bahwa sebuah republik adalah kesatuan yang tidak bisa dibeda-bedakan, ibarat sebuah famili yang rukun dan manis. Dalam kenyataannya tentu saja tidak demikian. Dalam kenyataannya, konflik, bahkan bentrokan, bisa terjadi. Sikap saling tak percaya bisa berkecamuk. ''Masyarakat'' dan ''Negara'' adalah ''dwi'' yang tidak selamanya ''tunggal''. Apalagi ada persepsi yang berbeda tentang masing-masing. Jika ''masyarakat'' adalah sebuah himpunan carut-marut yang hampir tanpa bentuk, ''Negara'' memang bisa mempunyai mystique tertentu. Ketika kata itu muncul di kepala kita, yang terbayang adalah gedung-gedung besar dan angker, pasukan yang perkasa, pegawai- pegawai yang tertib bersegaram dan mengabdi, ritual yang megah, dan aturan-aturan yang rapi yang dimaksudkan buat memenuhi ke- pentingan yang jelas dan ''rasional'' -- untuk siapa pun kepentingan itu. Dengan kata lain, ''Negara'' mengimplikasikan suatu kesempurnaan, baik sebagai sang pengatur yang adil maupun penindas yang canggih. Namun, benarkah? Ada seorang teman yang pada suatu saat tertarik kepada Marx dan mengkaji analisa Marx tentang Perancis yang ditulis 140 tahun yang lalu, di masa berkuasanya Bonapartisme. Dengan naiknya Louis Bonaparte, kata Marx, coup d'etat yang terjadi merupakan ''kemenangan Bonaparte atas parlemen, kemenangan kekuasaan eksekutif atas legislatif'', dan Perancis pun seakan-akan ''terlepas dari despotisme sebuah kelas untuk jatuh kembali ke bawah despotisme seorang individu...''. Jika tampak ada stabilitas di sana, itu lantaran pergulatan yang terjadi ''telah dibereskan sedemikian rupa sehingga semua lapisan masyarakat, sama-sama impoten dan sama-sama bisu, bertekuk lutut di hadapan popor bedil''. Di sekitar popor bedil itu bergeraklah sebuah kekuatan eksekutif yang mempunyai ''organisasi birokratis dan militer yang besar, dengan mesinnya negaranya yang piawai, yang merangkum ke seluruh strata sosial''. Masyarakat Perancis bagai terjerat jala. Seluruh dayanya tersumbat. Itulah Indonesia kini, kata teman yang membaca dengan asyik The 18th Brumaire of Louis Bonaparte itu. Kita hidup mirip dengan Perancis di bawah Louis Bonaparte, katanya pula. Tapi, mungkinkah? Saya hanya ingat Ali Topan. Ia hidup antara rasa aman dan ketakutan dan sepucuk SIM yang ia dapat dengan cara nyogok. Ia tahu bahwa ''Negara'' (dalam kepalanya yang tergambar ialah tentara, polisi, dan birokrat) memang sebuah organisasi yang kuat dan besar, tetapi tidak sedemikian abstrak dan jauh. Ia tahu bila ia kepepet ia bisa nyogok. Atau bisa menghubungi omnya yang jadi tentara. Ia tak merasa salah. Ia tahu bahwa Pak X, seorang pejabat penting, punya anak yang jadi pengusaha dan memperoleh fasilitas dari peraturan pemerintah yang dikeluarkan. Ia tahu pula bahwa pejabat lain tidak berkutik menghadapi ''pelanggaran'' bisnis Pak X. Dengan kata lain, Ali Topan tahu bahwa apa yang dikatakan Hegel untuk Jerman dan Marx untuk Perancis tidak cocok dengan apa yang dialaminya di Indonesia kini: garis demarkasi yang begitu jelas antara ''Negara'' dan ''masyarakat'' di Indonesia kini meleset. Birokrasi memang berjibun dan menentukan dalam banyak hal, dan pemerintah memang gemar mengatur segala perkara -- asas partai politik, perdagangan cengkeh, potongan rambut pria, judul film, isi koran -- tetapi efektifkah sesungguhnya? Birokrasi pemerintah ini tak bisa disamakan dengan birokrasi Prusia atau Perancis. Sejarah ''Negara'' kuat di Indonesia tidak atau belum cukup berakar. Memang orang bisa merasa aman dan sekaligus waswas karenanya: ''kita harus hidup dengan sebuah raksasa yang cerewet tetapi juga ceroboh, yang jari-jarinya intrusif tetapi juga tidak teramat ketat. Apa boleh buat.'' Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini