Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERTAHUN-tahun, pengalihan asuransi aparatur sipil negara dan tentara belum juga terlaksana. Pemerintah seharusnya tegas dalam mengatur perubahan pengelolaan dana dari PT Taspen (Persero) dan PT Asabri (Persero) kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja (BP Jamsostek). Perubahan itu telah diatur Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Undang-Undang BPJS yang berlaku sejak 2011 mengatur BP Jamsostek sebagai lembaga yang menangani jaminan hari tua dan dana pensiun dari Taspen dan Asabri mulai 2029. Dalam rangkaian pengalihan yang disebut transformasi parsial ini, Asabri dan Taspen wajib menyusun peta jalan alih kelola jaminan hari tua dan dana pensiun kepada BP Jamsostek paling lambat pada 2014. Namun program ini mandek dan hanya menjadi polemik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lima tahun setelah tenggat, regulasi teknis peralihan berupa peraturan pemerintah yang semestinya terbit dua tahun setelah Undang-Undang BPJS berlaku juga belum diterbitkan. Tentu saja, manajemen Taspen dan Asabri juga belum mengumumkan peta jalan program transformasi parsial ini. Masalah kian pelik setelah sejumlah peserta Taspen dan Asabri mengajukan uji materi Undang-Undang BPJS ke Mahkamah Konstitusi karena khawatir dana pensiun dan jaminan hari tua mereka menyusut jika dikelola BP Jamsostek, yang juga menangani pekerja swasta.
Patut diduga, macetnya pelaksanaan undang-undang itu dipicu keengganan Taspen dan Asabri mengalihkan dana yang mereka kelola. Kedua perusahaan ini pernah mengusulkan revisi Undang-Undang BPJS dan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Asabri bahkan merancang penerbitan Undang-Undang BPJS Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI, dengan dalih profesi ini memiliki risiko tinggi sehingga jaminan sosialnya perlu formula dan perlakuan khusus.
Manajemen Taspen dan Asabri seharusnya berhenti bermanuver untuk menolak transformasi parsial. Toh, terbuka peluang bagi keduanya untuk membuat formula dana pensiun dan jaminan hari tua bersama BP Jamsostek dengan memperhitungkan tingkat risiko profesi tentara, polisi, dan pegawai negeri. Termasuk mengakomodasi perbedaan sumber iuran pegawai swasta dengan tentara, polisi, dan pegawai negeri yang dibiayai negara.
Pengelolaan dana pensiun tentara dan pegawai negeri yang dijalankan secara eksklusif juga rawan penyelewengan dan berisiko merugikan negara. Kasus menyusutnya dana kelolaan Asabri karena terjebak investasi busuk menjadi buktinya. Ironisnya, lembaga yang seharusnya menjadi pengawas, seperti Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Kementerian Pertahanan, dan Otoritas Jasa Keuangan, seolah-olah sulit mengontrol sepak terjang kedua perusahaan ini. Dengan mengalihkan pengelolaan ke satu lembaga, pengawasannya akan lebih mudah.
Di sisi lain, pemerintah mesti membenahi dan mengawasi ketat kinerja BP Jamsostek. Sebab, lembaga ini akan mengelola dana yang cukup besar, yaitu Rp 750 triliun. Dengan dana kelolaan sebesar itu, BP Jamsostek bakal memiliki kekuatan di pasar keuangan dan berpeluang mendapat imbal hasil besar. Penegak hukum dan Otoritas Jasa Keuangan pun tak boleh lengah mengawasi penempatan investasi BP Jamsostek, agar dana kelolaannya tak menguap karena ditanamkan pada instrumen investasi bobrok, seperti yang terjadi dalam kasus Jiwasraya.
CATATAN KOREKSI: Satu kalimat pada paragraf 6 artikel ini diubah pada Jumat 28 Februari 2020 untuk memperbaiki akurasinya. Sekarang kalimat itu berbunyi, "Kasus menyusutnya dana kelolaan Asabri karena terjebak investasi busuk menjadi buktinya." Sebelumnya, kalimat itu juga merujuk pada Taspen. Dengan ini, kesalahan diperbaiki. Redaksi mohon maaf.