Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MESKI belum ada preseden hakim konstitusi memutus sebuah perkara dengan mempertimbangkan amicus curiae, euforia publik mengirimkan pendapat atas gugatan perselisihan hasil pemilihan umum menunjukkan kepedulian yang besar. Hingga kemarin, setidaknya ada 33 amicus curiae (sahabat pengadilan) yang masuk ke Mahkamah Konstitusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Delapan hakim konstitusi akan bersidang dan memutuskan gugatan perselisihan Pemilu 2024 pada 22 April 2024. Gugatan dilayangkan oleh kubu pasangan calon presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. Dua tim calon presiden ini menggugat pelbagai pelanggaran etik, hukum, dan penyalahgunaan kekuasaan atas pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden bagi Prabowo Subianto.
Dari rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum, Prabowo-Gibran memenangi pemilihan presiden dengan membukukan 58,6 persen suara. Kubu Anies dan Ganjar meminta hakim mendiskualifikasi Gibran karena masuk gelanggang pemilu dengan mengakali hukum. Wali Kota Solo ini berusia 36 tahun, sementara Undang-Undang Pemilu mensyaratkan para kandidat berusia minimal 40 tahun.
Syarat itu digugat pengagum Gibran ke Mahkamah Konstitusi. Paman Gibran, Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, mengabulkan gugatan itu dan mengubah syarat menjadi calon wakil presiden dengan menambahkan frasa "pernah mengikuti pemilihan umum". Kendati belum cukup umur, Gibran cukup syarat menjadi calon wakil Prabowo.
Putusan Mahkamah itu dinyatakan melanggar etik oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, terutama soal independensi hakim. Namun KPU tetap menerima pencalonan meski aturannya belum diubah menyesuaikan dengan putusan MK. Atas keputusan itu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu menjatuhkan sanksi etik kepada Ketua KPU Hasyim Asy’ari. Toh, Gibran melaju terus.
Pada masa kampanye, Presiden Joko Widodo—ayah Gibran—rajin berkunjung ke daerah dan membagikan bantuan sosial. Cawe-cawe Jokowi untuk memenangkan anaknya itu melanggar asas netralitas yang tak sesuai dengan konstitusi. Belum lagi pengerahan aparatur negara untuk menggiring pemilih memberikan suara bagi Prabowo-Gibran.
Semua pelanggaran itu menjadi sorotan amicus curiae. Para pengaju meminta hakim menimbang segala kejanggalan itu untuk memulihkan demokrasi Indonesia dan menghentikan kesewenang-wenangan penguasa dan tegaknya negara hukum. Salah satu pengaju adalah mantan presiden Megawati Soekarnoputri, yang berharap hakim konstitusi membuat putusan adil dengan melihat pelbagai kecurangan pemilu dan penyalahgunaan kekuasaan.
Amicus curiae, sistem hukum Romawi Kuno yang berkembang dalam praktik hukum modern di banyak negara, layak menjadi pertimbangan karena bentuk pernyataan pendapat publik atas sebuah perkara yang penting dan genting. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman mengakomodasinya. Pasal 5 ayat (1) menegaskan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Karena itu, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menerima 20 amicus curiae dalam gugatan pencemaran nama Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan memutus bebas aktivis hak asasi manusia Haris Azhar-Fatia Maulidiyanti. Para pengaju amicus curiae berdalih apa yang dilakukan Haris-Fatia dalam mengungkap keterlibatan pejabat dalam penambangan emas di Papua itu sebagai hak konstitusional warga negara dalam mengawasi kekuasaan.
Amicus curiae kian relevan dengan nama cemar Mahkamah Konstitusi akibat putusan Anwar Usman mengubah UU Pemilu itu. Citra Mahkamah telanjur buruk sebagai penghamba kekuasaan Jokowi. Karena itu, putusan sengketa pemilu yang merujuk pada fakta-fakta akan mengembalikan harapan Mahkamah sebagai lembaga yang bisa diandalkan memelihara keadilan.