Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putu Setia
Ketika petinju Chris John hanya menang angka atas lawannya, Jose Rojas dari Venezuela, teman saya berkomentar, ”Saya berharap Chris John menganvaskan Rojas.” Saya tak suka olahraga pukul-memukul, jadi hanya mengangguk tanpa minat berdebat.
Ketika teman saya pulang, keponakan saya yang suka melukis menghampiri saya. ”Tak menyangka Bapak suka tinju. Saya sudah menganvaskan Muhammad Ali, Mike Tyson, juga Ellyas Pical. Kalau Bapak suka, boleh dibawa,” katanya.
Sejenak saya kaget. Kamus Besar Bahasa Indonesia dan beberapa kamus lain mengartikan kanvas sebagai kain kasar atau kain terpal untuk melukis. Jadi, yang dimaksudkan oleh keponakan saya adalah para petinju pujaannya itu sudah dilukis di atas kanvas. Istilah menganvaskan di kalangan pelukis katanya sudah umum, seperti halnya mematungkan, mereliefkan, dan sebagainya. Cuma, kamus tidak pernah memberi contoh seperti itu untuk menganvaskan.
Kanvas punya arti lain, yakni gelanggang tinju. Dari sinilah kata jadian menganvaskan diberi penjelasan oleh kamus, yakni ”memukul roboh sampai jatuh di kanvas”. Para pelukis tentu tak pernah memukul seorang petinju sampai jatuh di kanvasnya. Tapi apakah ”menganvaskan” versi pelukis itu salah sehingga tak muncul contohnya di kamus?
Kata kiasan, ungkapan, simbolisasi sering kali berkaitan dengan etnis tertentu sehingga tidak bisa populer di seluruh Nusantara, di mana bahasa Indonesia dijadikan bahasa pemersatu. Saya teringat ketika di sekolah menengah di Bali diajar bahasa Indonesia oleh seorang guru dari Jawa. Ibu Guru mengajak murid-muridnya tidak mempercayai dan jangan menggunakan kiasan yang dipopulerkan oleh ”orang-orang Melayu yang kebetulan jadi sastrawan”. Beliau mengajak mencari kiasan dari lingkungan sekitar.
Untuk memberi contoh, Ibu Guru mengambil kapur dan menggambar wajah orang di papan tulis. ”Rambutnya seperti mayang terurai,” lalu Bu Guru mulai menggambar mayang terurai. ”Keningnya seperti semut beriring,” digambarlah semut beriringan itu. ”Matanya seperti bintang kejora, bibirnya seperti delima merekah, dagunya seperti lebah bergantung.” Setelah semua digambar, beliau berkomentar, ”Beginikah gadis yang cantik itu?” Kami tertawa.
Saya bersyukur kiasan khas ”sastrawan Melayu” ini tidak sampai masuk ke kamus besar. Bahwa itu masuk di kamus khusus, tidak menjadi persoalan, anggap saja catatan perjalanan bahasa Indonesia dari waktu ke waktu. Tapi bagaimana dengan kiasan ”membabi buta”, misalnya? KBBI menjelaskan sebagai ”melakukan sesuatu secara nekat, tak peduli apa-apa lagi”. Tetangga saya di Bali punya peternakan babi. Dari puluhan ekor babi, ada dua yang buta. Ternyata babi buta itu justru sangat pendiam, bahkan harus ditepuk-tepuk badannya ketika diberi makan. Jika Anda ke Pulau Bintan di Riau Kepulauan, ada peternakan babi yang besar, tak seekor pun babi yang jalang, baik yang normal maupun yang ”tunanetra”. Ada kemungkinan istilah ”membabi buta” itu muncul ketika dulu kala di hutan-hutan Indonesia berkeliaran babi hutan dan para pemburu menemukan babi yang ”nekat” seperti itu. Haruskah kiasan direformasi?
Sejauh mana sebuah kiasan bertahan dengan zamannya sehingga layak untuk ”dikamuskan”? Di televisi sering kali muncul iklan penyanyi Ratu dengan sebait syairnya: ”Buaya darat… busyet….” Keponakan saya pernah bertanya: kenapa buaya darat dicaci? Ia setiap minggu mencandai buaya darat di penangkaran buaya di Padanggalak, Sanur. Contoh lain yang bukan dari dunia binatang adalah ”main hakim sendiri”, yang penjelasannya di kamus ”berbuat sewenang-wenang terhadap orang yang dianggap bersalah”. Bukankah hakim tak selalu menyalahkan dan kerap pula membebaskan? Bagaimana bisa sewenang-wenang? Jangan-jangan hakim dan buaya perlu memprotes kamus. Karena itu, apakah ungkapan bisa masuk kamus atau tidak, perlu lagi dikaji.
Belakangan ini muncul beragam kiasan yang juga ngawur. Ada berita di koran: ”Pak Anu dipolisikan oleh stafnya.” Ini bisa membingungkan kalau tubuh berita tak dibaca cermat. Orang bisa mengira Pak Anu dijadikan polisi, tetapi yang terjadi adalah Pak Anu dilaporkan ke polisi.
Beberapa hari lalu, teman saya kembali ternganga di rumah saya. Keponakan lelaki saya yang kelas IV SD itu pulang sekolah dan tampak akrab dengan anak tetangga, seorang perempuan, yang baru saja pindah. ”Kalian akrab betul…,” kata teman saya. Keponakan saya dengan riangnya menjawab, ”Kan, saya sudah menggaulinya.”
Gaul artinya berteman. Yang pasti, keponakan saya tak pernah membaca kamus, sehingga menggauli ia artikan sebagai sudah berteman, sama seperti ”menghampiri” yang artinya sudah hampir, ”mengantari” artinya sudah mengantar. Lagi pula, orang Bali mungkin hanya segelintir yang tahu arti menggauli menurut kamus. Lain ladang lain peladangnya, lain lubuk lain pemancingnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo