Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Ancaman Hoaks Menjelang Pemilu

Mendekati perhelatan pemilihan presiden 2019, pelbagai kabar bohong (hoaks) mulai merebak lagi.

2 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mendekati perhelatan pemilihan presiden 2019, pelbagai kabar bohong (hoaks) mulai merebak lagi. Padahal, agar bisa memilih secara tepat, pemilih memerlukan informasi yang benar serta relevan tentang rekam jejak para kandidat dan program mereka. Karena itu, pemerintah dan masyarakat perlu bahu-membahu memerangi informasi yang sesat dan menyesatkan tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Riset Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia dari Juli hingga September lalu menemukan tak kurang dari 230 kabar bohong beredar di masyarakat. Sekitar 58,7 persen di antaranya berkaitan dengan pemilihan presiden. Sebagian besar menyudutkan calon lawan. Sisanya berusaha membangun citra positif calon tertentu lewat klaim palsu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masalahnya, sejumlah riset di beberapa negara menunjukkan kabar bohong yang terus disebar bisa dianggap sebagai kebenaran. Penyebabnya, para penyebar hoaks sangat ahli menyamarkan kebohongan. Pemilih yang kurang kritis pun mudah terjebak dalam "bias konfirmasi". Mereka cenderung mencari informasi yang mengukuhkan keyakinan atau pilihan politiknya sendiri tanpa menguji kebenaran informasi tersebut.

Hoaks politik sejatinya tak hanya merugikan pihak yang diserang. Berkaca pada pemilihan presiden 2014, hoaks bermuatan fitnah dan ujaran kebencian terbukti memicu perpecahan di kalangan masyarakat. Untung saja, meski sempat memanas, suhu politik setelah pemilu presiden 2014 bisa kembali ke titik normal.

Hoaks dan ujaran kebencian kembali membahayakan proses demokrasi pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat, sepanjang 2017, sekitar 760 ribu kabar palsu dan ujaran kebencian kembali berseliweran di media sosial. Dampaknya, hingga kini, relasi antar-warga Ibu Kota yang sempat memburuk belum benar-benar pulih.

Hoaks harus diberantas. Cara paling sederhana yang bisa dilakukan semua orang adalah tidak menyebarkan informasi apa pun sebelum memastikan kebenaran serta kredibilitas sumbernya. Ikhtiar lebih serius dilakukan sejumlah media dan kelompok masyarakat dengan mengecek kebenaran informasi kontroversial yang telanjur viral. Hal itu layak mendapat apresiasi.

Namun inisiatif masyarakat saja tak cukup. Pemerintah harus berada di garda terdepan dalam memberantas hoaks. Sebab, hanya pemerintah yang punya instrumen untuk menutup situs atau akun penyebar hoaks sekaligus menghukum pelakunya.

Agar perang melawan hoaks efektif, para pemilih juga harus membebaskan diri dari fanatisme buta. Toh, yang bertanding pada Pemilu 2019 bukanlah "malaikat" melawan "setan", sehingga tak perlu didukung atau dilawan habis-habisan. Hadapilah kontestasi politik rutin ini dengan rileks. Dalam setiap perlombaan politik, menang-kalah adalah hal biasa.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus