Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putu Setia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anda mengenal nama Andrei Angouw? Ia kurang populer dibanding Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution, yang memenangi pemilihan wali kota di Solo dan Medan. Padahal Andrei juga memenangi pemilihan wali kota di Manado. Yang membedakan adalah status keluarga. Gibran adalah anak Presiden Joko Widodo dan Bobby menantu Presiden, sementara Andrei bukan siapasiapa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Andrei Angouw layak diperkenalkan. Dia tidak ujukujuk menjadi calon Wali Kota Manado. Dia sudah tiga periode menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Utara. Malah sejak Februari 2016 jabatannya adalah Ketua Dewan.
Andrei berasal dari keluarga Tionghoa. Ah, apakah ini menarik? Negeri yang beragam penduduk ini tak layak masih mempersoalkan asalusul etnis. Semua orang punya kedudukan yang sama, cinta pada tanah air yang sama, dan punya hak yang sama untuk membangun negeri. Ini ungkapan klise, namun perlu dikatakan. Ada yang lebih penting, sekaligus pujian untuk masyarakat Manado, Andrei penganut Konghucu. Pertama kalinya di Indonesia, kepala daerahmeski itu baru setingkat wali kotaberagama Konghucu.
Agama sering kali dikaitkan dengan jabatan. Belum lama ini, seorang petinggi Majelis Ulama Indonesia menyatakan keheranannya, ada rencana kepala polisi dijabat oleh orang nonmuslim. Padahal kandidat Kapolri masih setingkat rumor. Yang sudah terjadi berkalikali adalah protes sebagian kelompok masyarakat yang menolak seorang pejabat lantaran beragama berbeda dengan agama mayoritas warga. Karena itu, berita dari Manado menjadi menarik. Umat Konghucu minoritas di sana. Berdasarkan sensus 2010, agama terbesar adalah Kristen Protestan, menyusul Katolik, Islam, Buddha, Hindu, dan Konghucu.
Perjalanan Konghucu sebagai agama resmi juga menarik. Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto tak mengizinkan keberadaan agama ini. Hari raya Imlek tak boleh dirayakan. Orde Baru tumbang dan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur memimpin bangsa ini. Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang membelenggu umat Konghucu. Agama Konghucu dinyatakan sebagai agama yang sah di republik ini dan semua perayaan keagamaan mereka diperbolehkan. Megawati, yang menggantikan Gus Dur sebagai presiden, juga berjasa menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional. Barongsai marak dan lampion ada di manamana.
Tapi tak berarti umat Konghucu diperlakukan dengan adil. Pencantuman kolom agama di kartu tanda penduduk harus menunggu lama dengan berbagai alasan administrasi. Di Kementerian Agama tidak jelas siapa yang mengurusi Konghucu. Tidak ada direktorat jenderal bimbingan masyarakat Konghucu seperti yang dimiliki agamaagama lain.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi janji. Saat perayaan nasional Tahun Baru Imlek pada 2014, Presiden SBY menyetujui usul Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) soal dibentuknya Direktorat Jenderal Agama Konghucu di Kementerian Agama. Janji itu belum ditepati sampai SBY lengser.
Presiden Joko Widodo, yang menggantikan SBY, rupanya asyik dengan infrastruktur, terutama jalan tol. Jokowi kurang tertarik mengurusi masalah agama. Umat Konghucu juga tak begitu ngotot bicara masalah pengayoman. Agama bagi mereka bukan untuk digembargemborkan. Maka sampai hari ini, tak ada direktorat jenderal bimbingan agama Konghucu di Kementerian Agama.
Andrei Angouw pasti tak ada kaitannya dengan urusan itu. Namun semboyan masyarakat Manado, yaitu Torang samua basudara (Kita semua bersaudara), perlu dibawa ke Jakarta. Sekadar mengingatkan kita bahwa pemeluk agama memerlukan pengayoman yang adil.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo