Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Masalah Berat Kereta Ringan

Baru dua bulan beroperasi, roda kereta ringan (LRT) Jabodebek mengalami aus. Salah desain rel sejak awal. 

 

31 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Munculnya masalah baru LRT Jabodebek merupakan konsekuensi proyek mercusuar yang tak dibekali studi kelayakan yang memadai, baik dari aspek keselamatan, finansial, maupun komersial.

  • Selain permasalahan teknis tersebut, perencanaan dan antisipasi KAI untuk mengatasi kerusakan roda tersebut disorot. Sebab, belakangan diketahui, KAI cuma memiliki satu mesin bubut LRT di depo miliknya yang menyebabkan trainset bakal menganggur di depo se

  • Ambisi mempercepat operasi seolah-olah mengabaikan kepatuhan terhadap aturan. Dan persoalan demi persoalan yang muncul belakangan adalah buah dari perencanaan yang asal-asalan

SATU demi satu persoalan kereta ringan atau light rail transit (LRT) rute Jakarta-Depok-Bogor-Bekasi (Jabodebek) mulai bermunculan. Ini merupakan konsekuensi proyek mercusuar tersebut tak dibekali studi kelayakan yang memadai, baik dari aspek keselamatan, finansial, maupun komersial.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masalah terbaru proyek ini adalah cepat ausnya kepingan roda kereta. Akibatnya, tujuh rangkaian kereta harus masuk bengkel di Depo LRT Bekasi Timur untuk menjalani pembubutan dan perawatan supaya aman dipakai. Dengan demikian, armada yang beroperasi kini tinggal sembilan rangkaian kereta. Pengurangan jumlah armada yang signifikan itu tentu berdampak intensitas perjalanan kereta menjadi berkurang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Biasanya, dengan 16 set kereta, LRT bisa melayani 234 perjalanan setiap hari. Kini, dengan sembilan set tersisa, LRT hanya bisa menjalani 131 perjalanan. Kondisi itu membuat waktu tunggu kereta di stasiun menjadi lebih lama. Selain itu, kapasitas harian kereta merosot tajam. 

Hal inilah yang menjadi pangkal soal kegaduhan di media sosial. Para pengguna—kebanyakan karyawan yang berangkat dan pulang kerja dari dan ke Jakarta—mengeluhkan waktu tunggu kereta di stasiun yang nyaris mencapai satu jam. Padahal biasanya cukup 20 menit atau maksimal 30 menit. Konsumen semakin emosi karena, setiap kali kereta tiba, kondisinya sudah sesak. Sementara itu, di stasiun, penumpang pun menumpuk. 

Selain permasalahan teknis tersebut, perencanaan dan antisipasi KAI untuk mengatasi kerusakan roda tersebut disorot. Sebab, belakangan diketahui, KAI cuma memiliki satu mesin bubut LRT di depo miliknya yang menyebabkan trainset bakal menganggur di depo selama berhari-hari karena harus antre.

Tanda bahwa proyek LRT yang menggunakan kereta produksi PT Inka (Persero) bermasalah sudah diprediksi jauh-jauh hari oleh Ignasius Jonan, ketika masih menjabat Menteri Perhubungan pada 2014-2016. Dia sudah mewanti-wanti Inka agar berbenah memperbaiki kualitas produknya dan memastikan aspek keamanan. Penilaian itu muncul karena pemerintah berkeras menggunakan produk lokal.

Kendala lain yang ditengarai membuat roda kereta cepat terkikis dan aus adalah kekeliruan desain rel, terutama pada jalur menikung pendek. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 60 Tahun 2012 tentang Persyaratan Teknis Jalur Kereta Api mengharuskan rel pada tikungan diperlebar dalam satuan tertentu agar kereta bisa berbelok mulus. Tapi, ternyata, pelebaran yang dibuat kontraktor proyek kurang, terutama pada beberapa rel di tikungan lengkung kecil. Akibatnya, roda terjepit dan cepat aus. 

Upaya pembubutan yang dilakukan saat ini pun sebenarnya hanya solusi jangka pendek. Masalah tak akan beres selama persoalan mendasar, yakni rel tikungan pendek, belum diperbaiki. Persoalan roda kereta yang cepat aus menambah panjang daftar masalah LRT Jabodebek, meski baru dua bulan beroperasi komersial. Sebelumnya, proyek strategis nasional ini terhadang sederet persoalan, salah satunya masalah integrasi sistem persinyalan yang membuat proses sertifikasi operasi berjalan panjang. 

Celakanya, masalah kekeliruan desain ini akhirnya ditoleransi dan disetujui oleh konsultan pengawas proyek serta Kementerian Perhubungan sebagai syarat penerbitan izin operasi. Sebab, pemerintah ingin proyek LRT segera beroperasi setelah molor dari target semula, yakni pada 2022. Awalnya, kereta berteknologi baru di Indonesia ini bahkan digadang-gadang diresmikan penggunaannya pada 2019, ketika Presiden Joko Widodo mengakhiri periode pertama jabatannya, sebagai bekal untuk maju ke periode kedua. 

Ambisi mempercepat operasi seolah-olah mengabaikan kepatuhan terhadap aturan. Dan persoalan demi persoalan yang muncul belakangan adalah buah dari perencanaan yang asal-asalan, studi kelayakan yang tidak memadai, serta kesembronoan pemerintah memaksakan proyek mercusuar tanpa perhitungan matang.

 

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus