Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RIBUT-ribut soal kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi negeri, yang kemudian batal setelah mendapat protes publik, membuka kekacauan anggaran pendidikan di sekolah kedinasan. Temuan Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan sekolah kedinasan yang diselenggarakan kementerian dan lembaga negara mendapat guyuran anggaran lebih besar dibanding PTN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari 125 sekolah kementerian, 20 di antaranya berjenis kedinasan. Alumnus sekolah ini langsung menjadi aparatur sipil negara begitu lulus. Biaya selama kuliah pun gratis karena ditanggung anggaran kementerian yang menyelenggarakannya. Sebanyak 105 lainnya adalah sekolah non-kedinasan. Alumnus sekolah ini tak langsung menjadi aparatur sipil negara karena bukan ikatan dinas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun biaya kuliah sekolah non-kedinasan kementerian atau lembaga negara masuk ke dalam 20 persen anggaran pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. KPK menemukan anggaran perguruan tinggi kementerian lain (PTKL) 4,5 kali lipat lebih besar dibanding perguruan tinggi negeri yang diawasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Tahun ini, misalnya, 20 persen anggaran pendidikan dalam APBN sebesar Rp 660,8 triliun. Anggaran belajar-mengajar di perguruan tinggi negeri hanya Rp 7 triliun, sedangkan anggaran untuk PTKL sebanyak Rp 32,86 triliun. Subsidi sekolah kedinasan di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebesar Rp 20 juta per mahasiswa. Sementara itu, standar satuan biaya operasional perguruan tinggi negeri hanya Rp 3 juta.
Anggaran besar sekolah kementerian non-kedinasan juga makin besar karena, selain perguruan tinggi, kementerian menyelenggarakan sekolah menengah kejuruan. Anggaran pendidikan yang dialokasikan Kementerian Pendidikan tersedot pula ke sana. Besar anggaran itu juga jadi makin boros karena banyak jurusan di sekolah kedinasan yang tumpang-tindih dengan jurusan di perguruan tinggi negeri.
Ketimpangan dan pemborosan itu bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2022 tentang penyelenggaraan perguruan tinggi kementerian lain. Dalam aturan itu jelas ditegaskan bahwa program studi di sekolah kedinasan harus mengacu pada program prioritas nasional di setiap kementerian, bersifat teknis, dan spesifik. Nyatanya, jurusan-jurusan di sekolah kedinasan tak jauh berbeda dengan jurusan di perguruan tinggi negeri.
Pemerintah telah menciptakan ketidakadilan pendidikan. Selain bersekolah gratis, mahasiswa kedinasan punya peluang lebih besar menjadi pegawai negeri. Sementara itu, mahasiswa perguruan tinggi negeri, selain harus membayar biaya kuliah, masih harus bersaing berebut pekerjaan setelah lulus. Maka sudah saatnya pemerintah menyetop sekolah kedinasan, lalu mengintegrasikannya dengan perguruan tinggi negeri.
Untuk mencetak seorang birokrat, pemerintah tak perlu mendirikan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang diselenggarakan Kementerian Dalam Negeri karena di perguruan tinggi negeri ada jurusan administrasi negara. Begitu pula dengan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) di bawah Kementerian Keuangan. Perguruan tinggi negeri dan swasta juga memiliki jurusan akuntansi di bawah fakultas ekonomi.
Bahkan Kepolisian Republik Indonesia tak perlu punya Akademi Kepolisian. Perguruan tinggi negeri punya jurusan kriminologi yang bisa direkrut menjadi polisi dengan mental dan sikap yang “lebih sipil” ketimbang lulusan akademi kepolisian yang masih kental sikap militerismenya. Sejak dipisahkan dari TNI pada 1999, tugas anggota kepolisian berfokus pada urusan-urusan sipil. Maka mental dan sikap mereka pun harus dipupuk sejak di bangku pendidikan. Urusan-urusan publik yang kompleks itu menuntut anggota kepolisian mesti paham disiplin ilmu lain yang pendidikannya tersedia di perguruan tinggi negeri.
Jika sekolah kedinasan dihapus atau diintegrasikan ke perguruan tinggi negeri, setidaknya perguruan tinggi negeri punya fasilitas tambahan dan anggaran pendidikan teralokasikan secara adil. Hitung-hitungan Kementerian Pendidikan menyebutkan standar subsidi kuliah PTN Rp 10 juta per mahasiswa. Jika biaya itu diambil dari anggaran biaya sekolah kedinasan, biaya kuliah di PTN kita akan kembali murah bahkan gratis.
Sudah saatnya desain pendidikan kita dirombak dengan mementingkan masa depan Indonesia. Bukan malah komersialisasi dengan menetapkan biaya kuliah kepada mahasiswa. Negara-negara kapitalis di Eropa sekalipun menggratiskan sekolah hingga pendidikan tinggi karena mereka percaya pendidikan adalah investasi sebuah bangsa untuk kemajuan.