Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Anomali dan Fantasi Bahasa

28 Mei 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hasif Amini

Namanya . Sesuai bentuk kepala dan gaya rambut, begitu ujarnya sambil terkekeh. Ia mengaku sedang belajar bahasa Solresol (bahasa yang seluruh kosakatanya terdiri dari berbagai permutasi atas tujuh nada do-re-mi-fa-sol-la-si); setelah ia merasa cukup menguasai tiga bahasa bikinan manusia abad ke-19 dan 20: Esperanto, Volapk, dan Klingon (bahasa kaum satria antagonis Star Trek). Belum lama kami berkenalan, tapi ternyata ia tak sungkan-sungkan mengetuk pintu rumah saya di larut malam, dan mengajak bicara, kadang sampai pagi, tentang hal yang menurutnya sangat ia sukai: bahasa. Saya (S) biasanya lebih banyak mendengarkan saja-dan sesekali menanggapi, kadang dalam keadaan setengah mengantuk-ocehan yang selalu lancar, bersemangat, tapi sering meloncat-loncat itu. Seperti yang terjadi tadi malam.

: Bung, seminggu ini aku lagi suka banget mengoleksi kata-kata ajaib dalam bahasa Indonesia. Sudah dapat banyak. Lumayan.

S: Maksudnya?

: Ya, banyak. Misalnya kata-kata yang menyimpang dari prinsip pembentukan kata dalam bahasa kita. Penglihatan, misalnya. Kata kerjanya kan melihat-dilihat atau memperlihatkan-diperlihatkan. Bukan menglihat, kan? Jadi dari mana datangnya -ng- itu ya? Atau kata mengetahui-diketahui dan pengetahuan. Kan kata dasarnya tahu, dapat imbuhan me-i, di-i, dan pe-an. Kok jadi seakan-akan kata dasarnya ketahu. Dari mana masuknya ke di situ? Hayo.

S: Ah, ya persis seperti penglaris atau pengrajin. Atau pengrusakan. Salah kaprah dari kebiasaan lisan, itu. Tapi sekarang kan banyak yang mencoba meluruskannya, jadi pelaris, perajin, perusakan.

: Ya. Tapi penglihatan bertahan.

S: Wah, itu mungkin karena telanjur enak diucapkan.

: Coba lihat kasus lain lagi. Panjat. Pukul. Punya. Dengan imbuhan me-i, luluhlah p pada panjat dan pukul, jadilah memanjati, memukuli; tapi kok tidak luluh pada punya? Mempunyai. Oke, bagaimana juga dengan belajar, pelajar, pelajaran, mempelajari, terpelajar. Kalau dipikir-pikir, aneh semua kata-kata itu. Kalau kata dasarnya ajar, kok lantas jadi seperti lajar. Dari mana coba datangnya l di situ? Dan kata terpelajar, maksudnya "paling pelajar" atau apa? Kalau sinonimnya, terdidik, masih masuk akal, yaitu "orang yang sudah dididik". Seperti juga terlatih, terpilih, teruji. Tapi terpelajar? "Orang yang sudah dipelajar"?

S: Ha. Saya malah teringat bentukan aneh yang lain, perantara. Kenapa bukan pengantara. Pertapa, kenapa bukan petapa.

: Betul. Aku jadi ingat kata perawan dan perindu. Kurasa kedua kata itu ada hubungannya dengan kata rawan dan rindu. Tapi yang membuatku lebih penasaran lagi adalah ini, rasanya ada pola-pola hubungan yang tersembunyi pada sejumlah kata.

S: Misalnya?

: Coba perhatikan kata sempurna. Juga sembunyi, sembarang, sembelit, semburit. Aku sering curiga sebetulnya ada awalan misterius bernama sem- di situ, yang menempel pada kata purna, bunyi, barang, belit, dan burit.

S: Ah, tambah gila saja anda ini.

: He-he. Ya, tapi bukankah adanya hubungan terselubung antara purna dan sempurna, bunyi dan sembunyi, dan seterusnya itu menunjukkan ada pola tertentu di sana?

S: Saya kira itu cuma kebetulan. Sebab tidak tampak pola hubungan yang konsisten di situ. Antara purna dan sempurna mungkin ada hubungan yang sejalan; seperti burit dan semburit; atau belit dan sembelit, mungkin; tapi bunyi dan sembunyi kan seperti berlawanan, karena orang yang bersembunyi kan biasanya tidak berbunyi, kan? Jadi tidak ada pola yang jelas.

: Ya, itu kan baru coba-coba. Seperti juga kita perlu mengisi celah-celah arti yang masih kosong selama ini, wilayah semantik yang masih lowong. Coba lihat, misalnya, kan ada frase senyum manis. Juga senyum masam, senyum kecut, senyum pahit, bahkan senyum hambar. Harusnya ada juga dong senyum pedas? Dan senyum asin.

S: Hmm. Senyum asin? Kayak apa itu?

: Ya, kan sifat asin di sini bisa kita hubungkan dengan sifat asin pada beberapa hal lain. Misalnya kecap asin. Atau ikan asin, apa sih kekhasan rasanya? Di lidah penggemarnya, rasa ikan asin itu kan luar biasa sedapnya. Sementara untuk orang yang tidak suka atau tidak biasa, pasti rasanya seperti kutukan kecil, paling tidak. Nah, kalau senyum manis itu lebih mudah dinikmati siapa saja, dari kanak-kanak sampai orang tua, kecuali mereka yang dilarang menikmati yang manis-manis oleh dokter, tentu saja; senyum asin memang penggemarnya tertentu saja, tapi bisa fanatik.

S: Hwahwahwahh, ngantuk.

: Sebetulnya kalau kita mau berkhayal mengisi ruang-ruang kosong seperti itu masih banyak sekali kemungkinannya. Bisa produktif dan memperkaya khazanah bahasa kita tuh. Kan ada istilah ilmu hitam, ilmu putih, harusnya ada juga dong ilmu kuning, ilmu merah, biru, dan seterusnya. Ada ayam kampung, ayam hutan, ayam negeri, mungkin suatu saat akan ada ayam dunia atau ayam universal, lho.

S: Ya, mudah-mudahan. Mungkin sudah ada. Silakan saja berkhayal sendiri. Pasti lebih asyik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus