Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fidelis Regi Waton
Pengajar Filsafat di Sankt Augustin, Jerman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam debat kedua calon presiden pada Februari lalu, Prabowo Subianto berkata: "Kami, kalau berkuasa nanti, insya Allah dapat mandat dari rakyat." Langgam serupa pernah dia ungkapkan dalam jumpa pers setelah pendaftaran calon presiden di kantor Komisi Pemilihan Umum: "Kami hanya ingin berkuasa dengan izin rakyat Indonesia."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siapa yang berkuasa? Para jenius dan pelbagai teori dari zaman antik hingga modern dihadapkan pada pertanyaan politis ini. Jawaban atasnya sangat bervariasi. Dengan menekankan kerendahan hati, Socrates berpendapat bahwa yang berkuasa harus bijak; ia harus sekian bijak untuk tahu bahwa ia tidak tahu. Plato memfavoritkan kalangan intelektual sebagai pemimpin (epistokrasi) karena mereka dianggapnya paling baik dan terbijak. Dunia militer dan maritim mengacu pada panglima perang. Kerajaan-kerajaan mengiklankan raja, kaisar, atau pangeran sebagai titisan Ilahi. Bagi Karl Marx, yang memimpin bukanlah kapitalis yang rakus, melainkan wakil kelompok proletar yang sadar akan perjuangan kelas.
Demokrasi tampil untuk menghadang tiran atau diktator ke tampuk pemerintahan. Melalui pemilihan umum, demokrasi hendak mengelakkan pergantian pemimpin dengan pertumpahan darah. Landasan demokrasi adalah konstitusi dan pemerintahan rakyat. Sejalan dengan itu, demokrasi acap kali merujuk pada adagium vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan).
Paralelisasi suara rakyat dengan suara Tuhan patut diperiksa secara kritis. Suara rakyat atau opini publik kadang tidak berkualitas dan cepat berubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Pemimpin yang baik harus lebih mengikuti akal sehat, bukannya membiarkan diri dituntun oleh suasana dan kondisi. Suara rakyat sangat mudah dikendalikan dan dimanipulasi. "Politisasi dan manipulasi suara rakyat" merupakan jargon permanen kaum populis yang tidak puas dengan peta sosial-politik.
Demokrasi sebagai pemerintahan rakyat diejawantahkan melalui suara terbanyak. Dalam artian ini, demokrasi juga diincar hantu kediktatoran mayoritas dan menjadi momok bagi minoritas. Prinsip mayoritas yang sah sering kali memuluskan jalan banyak tiran dan diktator untuk memuaskan ambisi politik. Secara sah Hitler dan Soeharto, misalnya, menduduki jabatan sekian lama melalui suara terbanyak.
Menurut Leo Tolstoy, demokrasi sebagai pemerintahan rakyat hanyalah fiksi, kalau tidak mau dibilang bohong. Yang memerintah de facto bukanlah rakyat, melainkan elite politik. Yang dibutuhkan dari rakyat pada dasarnya hanyalah legitimasi berupa partisipasi dalam memberikan suara. Praksis politik mengasingkan rakyat dari forum pengambilan keputusan. Antara yang memerintah dan diperintah terdapat ngarai yang dalam. Fenomena ini dibaptis Catherine Colliot-Thelene sebagai la democratie sans demos (demokrasi tanpa rakyat).
Mengacu pada penilaian Winston Churchill, demokrasi tak lain dari sistem politik terburuk yang kita miliki, tapi tak ada yang lebih baik daripadanya saat ini. Demokrasi bukanlah sistem yang sempurna. Ia patut dikontrol agar tidak meninggalkan substansinya. Substansi demokrasi yang genuine memperlihatkan bahwa yang harus berperan sentral adalah rakyat. Pemerintah tidak berkuasa. Ia hanya boleh memerintah.
Pemimpin yang memahami dan menerjemahkan mandat dan amanat rakyat sebagai lisensi untuk berkuasa telah mengangkangi peranti demokrasi dan sangat berbahaya. Pemimpin dengan kapasitas penguasa sedang merapatkan diri pada garis komando, otoriter, dan korup. Peringatan Lord Acton tidak boleh diabaikan: Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely (Kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara mutlak).
Jalan menuju ke sana tidak sulit, sekurang-kurangnya menurut Johann Wolfgang von Goethe: "Berkuasa sangat gampang dipelajari, memerintah sulit." Yang berkuasa mengartikan diri sebagai tuan, yang memberikan perintah dan memiliki kuasa. Hierarki dianggapnya sakral dan ketaatan hanya dari bawah ke atas. Emansipasi dan egaliter tidak ada dalam kamus penguasa. Ia akan sangat alergi terhadap kritik dan oposisi serta hanya mau disembah dan dipuja. Riak politiknya akan didominasi emosi dan nafsu ketimbang nalar dan nurani. Rakyat yang darinya ia mendapat mandat pada akhirnya diperlakukan bagai boneka.
Yang memerintah akan tampil sebagai administrator yang mengelola, mengorganisasikan, serta mengatur hidup dan kepentingan bersama. Ia akan melibatkan kerja sama dan tanggung jawab kolektif. Apa yang dijalankannya adalah realisasi aspirasi dan kehendak umum. Rakyat tetap dilihat sebagai subyek politik. Ia bertugas menata agar semua pihak tampil dan berpartisipasi sebagai mitra dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial.
Mental memerintah tidak akan bersifat polarisasi, tapi lebih mengayomi dan mengintegrasi. Yang memerintah, ringkasnya, dalam alur Ki Hajar Dewantara, sebagai figur yang ada di depan sebagai teladan (ing ngarsa sung tuladha), yang membangun semangat dari tengah (ing madya mangun karsa), dan memberi dorongan dari belakang (tut wuri handayani).
Yang mendapat kepercayaan rakyat untuk memegang tampuk pemerintahan diserukan: regna, sed non impera (memerintahlah, tapi jangan berkuasa).