Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konflik internal termasuk kekerasan yang paling ganas. Jumlah korban jiwa dalam konflik inter-nal lebih besar daripada korban akibat terorisme dan perang antar-negara. Untuk setiap serdadu yang mati, ada sembilan penduduk sipil yang tewas. Yang jadi korban sebagian besar perempuan, anak kecil, dan orang miskin. Sejak 1989 tidak kurang dari 4 juta korban jiwa di sekitar 30 negara.
Di dunia kita ada lebih dari 5.000 golongan minoritas dan kurang-lebih 80 konflik etnis yang berkepanjangan. Pada 1994 saja sudah ada 35 perang internal. Dalam masa lima tahun sejak berakhirnya operasi "Desert Storm" yang menggempur dan kemudian memblokade Irak, pasukan Amerika sudah 27 kali melancarkan intervensi militer di negeri orang.
Di negeri-negeri yang bergolak juga terdapat kepentingan perusahaan multinasional yang berukuran raksasa. Sebuah studi kuantitatif yang dibuat untuk CIA menemukan dua indikator kunci dalam 113 kasus gagal-negara: Jumlah kematian bayi besar, dan keterbukaan perdagangan kecil.
Model Buatan
Sejak Perang Dingin berakhir, telah terjadi lebih dari 100 konflik internal di dunia. Definisi "konflik internal" adalah: setiap konflik yang terjadi atas dasar identitas kelompok atau golongan sosial, termasuk bahasa, ras, agama, aliran, suku, kasta, kelas, kumpulan, dalam berbagai kombinasi. Begitu bunyi brosur berjudul An Analytical Model of Internal Conflict and State Collapse: Manual for Practitioners, yang disusun Pauline H. Baker dan Angeli E. Weller (The Fund for Peace, Washington, DC, 1998).
Buku pedoman itu membuat suatu model yang terdiri atas empat komponen. Pertama, ada 12 indikator utama yang menunjukkan adanya suatu konflik internal dan ambruknya negara. Model yang dibuat juga menelusuri lima tahap perkembangan suatu konflik internal. Kemudian diberikan patokan serta data untuk mengevaluasi 12 indikator tersebut. Akhirnya ada pula komponen perumusan tentang syarat kondisi keamanan yang dianggap bisa dipertahankan sehingga intervensi perdamaian dari luar dapat diakhiri.
12 Indikator
Buku itu menawarkan 12 indikator yang disuling dari empat sumber: penelitian dan analisis oleh para akademisi, tiga studi yang dipesan oleh pemerintah AS, hasil penelitian oleh lembaga-lembaga seperti Creative Associates dan Defence Forecasts International, dan hasil kerja Carnegie Commission on Preventing Deadly Conflict.
Berikut ini adalah gambaran tentang 12 indikator tersebut, yang dibagi dalam tiga kelompok, yaitu Indikator Sosial, Indikator Ekonomi, dan Indikator Politik/Militer.
Indikator Sosial mencakup tekanan demografis yang meningkat, seperti kepadatan penduduk dalam hubungan dengan persediaan pangan, atau migrasi penduduk dari daerah lain yang berbeda kultur atau agama. Dalam kategori ini mungkin termasuk tekanan demografis yang disebabkan oleh migrasi penduduk Sulawesi Selatan, Madura, dan daerah lain di Indonesia Timur yang beragama Islam ke daerah-daerah lain di Indonesia Timur yang beragama Kristen, dan migrasi orang Madura ke Kalimantan Barat.
Biasanya tekanan demografis semacam itu diiringi pula oleh serangkaian pengungsian sebagai akibat kekerasan yang diarahkan pada kelompok tertentu. Pengungsian ini mengakibatkan serentetan kesulitan seperti kekurangan bahan makanan, air bersih, obat-obatan, dan perebutan lahan untuk bertani. Iringan kondisi pengungsian dengan mudah berkembang menjadi krisis kemanusiaan dan masalah keamanan yang lebih besar baik di dalam negeri maupun antar-negara. Kadang kala ada juga perasaan diperlakukan tidak adil yang berlangsung berabad-abad, seperti yang dipraktekkan pemerintah kolonial di Maluku terhadap penduduk yang tidak beragama Kristen-Protestan.
Indikator Ekonomi meliputi timpangnya kesempatan pendidikan, kesempatan kerja, dan status ekonomi. Dari kondisi atau anggapan keadaan semacam itu dapat pula tumbuh nasionalisme golongan yang sempit. Krisis ekonomi yang tiba-tiba melanda atau ambruknya nilai mata uang lokal sering kali menimbulkan sistem ekonomi tersembunyi, seperti penyelundupan, perdagangan madat, dan pelarian modal. Di kalangan masyarakat, korupsi dan praktek-praktek gelap meluas, dan pemerintah tidak mampu membiayai gaji yang layak bagi pegawai negeri atau angkatan bersenjatanya.
Di samping 6 indikator sosial dan ekonomi, ada 6 lagi indikator politik dan militer. Elite yang berkuasa melakukan korupsi secara besar-besaran. Mereka menolak transparansi, pengawasan, dan pertanggungjawaban. Ini mengakibatkan hilangnya kepercayaan rakyat pada lembaga-lembaga pemerintah. Di mana-mana muncul demonstrasi dan pembangkangan serta pemberontakan bersenjata yang sulit dikendalikan.
Sindikat-sindikat penjahat berkoalisi dengan elite yang berkuasa, sedangkan pelayanan publik seperti keamanan, kesehatan, pendidikan, sanitasi, dan transportasi umum terus merosot. Jasa pelayanan tersebut kemudian hanya melayani elite yang berkuasa. Tentara, polisi, bank sentral, dan pabean semuanya mengabdi pada penguasa.
Hukum tidak lagi bekerja sesuai dengan fungsinya dan pelanggaran hak asasi meluas. Aparat keamanan bergerak seperti "negara dalam negara". Komponen tertentu dalam angkatan bersenjata seakan menempatkan diri di atas hukum dan organisasi resmi kemiliteran. Mereka berbuat sekehendak hati, termasuk membentuk milisi yang menteror pihak lawan, pihak yang diduga tidak bersahabat, atau orang sipil yang berpihak pada oposisi. Komponen tersebut muncul seperti "angkatan bersenjata dalam angkatan bersenjata".
Elite kemudian pecah. Retorika politik mengarah pada penggalangan solidaritas komunal seperti "usir pendatang asing", atau "bela agama kita". Dampak perkembangan demikian di dalam negeri kadang kala dirasakan pula di negara-negara tetangga, atau bahkan bagi suatu golongan di luar negeri yang merasa bahwa golongan sejenisnya berada dalam keadaan terancam.
Misalnya, golongan agama di suatu negara yang merasa bahwa umatnya di negara lain berada dalam keadaan terancam akan menggalang dukungan dan mengirim bantuan kepada kaumnya yang terancam. Dalam situasi tertentu mereka bahkan dapat mendesak pemerintahnya agar turun tangan dan bertindak menyelamatkan jemaahnya yang dianggap tertindas. Jelaslah bahwa intervensi dari luar bukan sesuatu yang mustahil dalam situasi konflik internal yang lepas kendali.
Konflik dan Kolaps
Mana yang terjadi lebih dulu: perpecahan atau gagal-negara? Orang biasanya yakin bahwa perpecahanlah yang mengakibatkan gagal-negara. Menurut terbitan FfP tentang konflik internal tersebut, keyakinan ini salah. Pembusukan di pusat kekuasaan, termasuk pemerintahan yang tidak becus, kebobrokan institusional, korupsi, dan kepemimpinan yang merusaklah yang menyebabkan konflik dan perpecahan.
Bila di pusat rontok, perpecahan meluas. Kesetiaan kepada negara bergeser ke golongan yang lebih tradisional dan yang lebih mampu menjamin perlindungan fisik dan mental. Biasanya hal ini terjadi pada masyarakat majemuk yang tidak memiliki prasarana atau kepemimpinan untuk mengatasi krisis. Begitu kegagalan negara mulai terasa, orang segera mencari perlindungan dan berusaha memperjuangkan kepentingan mereka melalui ikatan-ikatan tradisional.
Dalam suasana seperti inilah timbul banyak kesempatan bagi pemimpin lokal, dengan atau tanpa dukungan golongannya di pusat, untuk memainkan rasa cemas dan kesetiaan golongan untuk tujuan meraih atau mempertahankan kekuasaan.
Biasanya, bila timbul konflik dan perpecahan di mana-mana, orang langsung mencari obat dalam nation-building (penggalangan solidaritas bangsa). Di mana-mana muncul seruan tentang persatuan dan kesatuan serta slogan-slogan nasionalis. Ini adalah upaya yang keliru. Karena konflik internal dan perpecahan merupakan akibat—dan bukan sebab—dari gagal-negara, semua upaya harus dipusatkan pada state-building (pemberdayaan pemerintahan), bukan nation-building.
Karena itu, demikian Baker dan Weller, tujuan yang harus dikejar lebih dulu adalah keamanan yang bersinambung. Di sini penyusun buku pedoman manajemen konflik internal tersebut melihat empat institusi yang mutlak perlu dibangun guna dapat mencapai sasaran keamanan, yaitu kepolisian yang efektif, pemerintahan sipil yang efisien, peradilan yang independen, dan militer yang profesional, berdisiplin, serta tunduk pada pemerintah sipil yang sah.
Di Poso, Maluku, Irian, Aceh, Kalimantan terjadi konflik internal berkepanjangan. Empat institusi yang didambakan demi tercapainya keamanan yang berkesinambungan masih terperosok dalam konfliknya sendiri-sendiri. Tapi orang masih saja bergumam: "Tidak, bukan gagal-negara, melainkan sekadar negara lemah!" Betul, tapi itu bagi yang melihat bahwa matahari bulan depan terbit di barat, dan di Glodok pukul 2 siang hujan salju, sedangkan harga bensin premium Rp 10 seliter.
Nono Anwar Makarim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo