Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH Indonesia kembali menaikkan target penurunan emisi gas rumah kaca. Komitmen itu tertuang dalam proposal nationally determined contribution (NDC) yang akan dibawa ke Konferensi Iklim (COP27) di Mesir pada awal November 2022. Target tersebut hanya akan berguna bila diikuti program pengendalian emisi yang nyata dan terbuka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini ketiga kalinya Indonesia menaikkan target penurunan emisinya. Mulanya pada 2009, di forum G20 Pittsburg, Amerika Serikat. Kala itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan target penurunan emisi 26 persen dengan usaha sendiri, dari prediksi emisi 2,87 miliar ton setara CO2 pada 2030. Saat itu, target Indonesia lebih tinggi dibanding negara maju seperti Jepang. Presiden Joko Widodo kemudian menaikkan lagi targetnya menjadi 29 persen dalam Perjanjian Paris 2015. Yang terbaru, Indonesia menaikkan angkanya hingga 31,89 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, menurut Intergovernmental Panel on Climate Change—panel ilmuwan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa—target-target tersebut tak memadai untuk mencegah suhu bumi naik 1,5 derajat Celsius dibanding masa pra-industri 1800-1850. Sebagai negara 10 besar produsen emisi karbon terbesar di dunia, Indonesia semestinya punya target lebih ambisius mengingat deforestasi, degradasi lahan, dan pemakaian energi fosil masih terjadi dalam skala besar.
Meski targetnya terus meningkat, faktanya kebijakan pemerintah Indonesia banyak yang bertolak belakang dengan target penurunan emisi itu. Presiden Yudhoyono, misalnya, pernah mengandalkan penurunan emisi lewat produksi biodiesel (B30). Pembuatan bahan bakar dengan pencampuran solar dan minyak sawit itu malah mendorong deforestasi akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit.
Era Joko Widodo lebih mundur lagi. Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah menerbitkan Undang-Undang Cipta Kerja yang mendorong pengerukan energi fosil lebih masif. Omnibus law itu menghapuskan royalti batu bara dan mengeluarkan limbah pembakaran batu bara dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Partisipasi masyarakat dalam pembuatan dokumen kelayakan lingkungan kegiatan usaha juga dipangkas.
Artikel:
Pemerintah pun tak pernah terbuka mempublikasikan data capaian penurunan emisi tahunan secara berkala. Sudahkah target tahunan penurunan emisi tercapai? Bagaimana kualitas capaiannya? Yang kita tahu: angka perambahan hutan, deforestasi, produksi sampah, dan emisi pembangkit listrik batu bara terus naik dari waktu ke waktu.
Lebih runyam lagi, pemerintah juga makin alergi terhadap data pembanding hasil riset internasional di bidang konservasi. Padahal, jika Indonesia serius hendak menurunkan emisi karbon, kolaborasi dengan komunitas konservasi dunia mutlak diperlukan. Kosta Rika, negara sebesar Jawa Barat di Amerika Tengah, misalnya, berhasil mewujudkan program konservasi yang mendatangkan devisa. Kuncinya, pemerintah di sana terbuka pada peran swasta, organisasi lingkungan, riset ilmiah, peran masyarakat adat, dan media massa.
Di Indonesia, konservasi yang menjadi instrumen pengendalian gas rumah kaca malah hendak dimonopoli pemerintah sendiri. Padahal, di samping menuntut kesungguhan, mitigasi krisis iklim mengharuskan keterbukaan pemerintah. Tanpa itu, koar-koar menaikkan target penurunan emisi adalah gaya-gayaan belaka.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo