Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kita mengenal kata penunjuk “ini” untuk benda di sini dan “itu” untuk benda di situ. Tapi tidak atau belum pernah kita temukan kata penunjuk “ana” untuk benda di sana.
Fenomena seperti ini dapat kita sebut rumpang atau rongak. Rumpang merujuk pada keadaan bersela pada satu deretan benda.
Rumpang dalam bahasa dapat terlihat lebih terang dalam bingkai pandangan biner: sini-ini, situ-itu, sana-ana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN bahasa, manusia berikhtiar menyingkap misteri alam, antara lain dengan memberi nama atau sebutan kepada benda-benda—baik konkret maupun abstrak—juga kepada ide-ide. Usaha itu, terutama di dunia ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi, terus berlangsung sampai hari ini. Namun kita tahu pasti selalu ada saja yang luput.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentu saja mustahil menamai isi semesta, satu demi satu. Akan jadi seberapa tebal kamus yang mendeskripsikan dan merekam semua itu? Tulisan berikut ini hanyalah sebuah catatan kecil atas sekelumit fenomena luput itu.
Selain “sini”, bahasa Indonesia mengenal “situ” dan “sana”. Bentuk “sini” menunjuk tempat ini, dan lebih jauh dari “sini” adalah “situ” (tempat itu). Lalu ada “sana” yang menunjuk pada tempat lebih jauh lagi, lebih jauh dari “situ”. Kita mengenal ungkapan “Nun jauh di sana” yang melukiskan betapa jauh sesuatu itu dari kita, seperti kerlap-kerlip lampu di sebuah kota di bawah yang kita lihat dari punggung bukit.
Leksem atau kata “sana” yang rasanya agak berbeda kita dapati dalam satu baris lagu kebangsaan “Indonesia Raya”: “Di sanalah aku berdiri”. Bentuk “sana” yang ini tersirat merangkum sekaligus keterangan tempat dan keterangan waktu.
Yang tidak kurang menarik, berdampingan dengan itu kita mengenal kata penunjuk “ini” (untuk benda di sini) dan “itu” (untuk benda di situ). Tapi tidak atau belum pernah kita temukan kata penunjuk “ana” (di sana).
Kita tidak paham mengapa bahasa kita tidak (merasa perlu) punya kata “ana”. Barangkali fenomena seperti ini dapat kita sebut rumpang atau rongak. Rumpang merujuk pada keadaan bersela pada satu deretan benda. Kurang-lebih seperti keadaan ompong. Rumpang dalam bahasa di sini dapat terlihat lebih terang dalam bingkai pandangan biner: sini-ini, situ-itu, sana-ana.
Rumpang dalam soal keruangan tadi seperti mengisyaratkan bahwa penutur bahasa Indonesia umumnya tidak terlalu peduli pada hal-hal yang berhubungan dengan ruang, maka tidak punya standar ukuran yang akurat. Ini mirip dengan soal waktu: sebagian orang lebih akrab dengan sebutan bakda atau setelah isya, misalnya, daripada satuan waktu yang persis. Persepsi kita tentang ruang dan waktu sangat cair, mudah mulur-mungkret.
Selain menyangkut dimensi ruang, ada bentuk rumpang lain, yang kita lihat di dalam istilah kekerabatan, khususnya yang berkenaan dengan hubungan anak dan orang tua. Anak tidak beribu (meninggal atau cerai) kita kenal dengan sebutan “piatu”. Anak tidak berayah kita sebut “yatim”. Dan anak yang sudah tidak punya kedua orang tua lazim kita sebut “yatim piatu”.
Lihatlah, bahasa kita punya sebutan untuk anak yang tak lagi punya orang tua, salah satu (“yatim” atau “piatu”) atau keduanya (“yatim piatu”). Pengertian anak di sini umum belaka, tidak disebut spesifik apakah anak kandung atau anak pungut, juga tidak jenis kelaminnya.
Yang lebih patut kita catat, rupanya bahasa Indonesia kita tidak punya sebutan untuk kebalikannya, yaitu untuk orang tua—bapak, ibu, atau keduanya—yang sudah tidak punya anak (karena si anak sudah meninggal). Dalam bahasa kita hanya anaklah yang ditandai dengan penyebutan (“yatim”, “piatu”, “yatim piatu”), sedangkan orang tua tidak punya penyebutan sejenis.
Fakta itu sulit, kalau tidak dapat dikatakan mustahil, dihubungkan dengan persepsi mengenai derajat dalam strata sosial. Tidak dapat dengan serta-merta orang mengatakan bahwa fakta itu menjungkirkan pandangan yang lazim. Bahwa anak berderajat lebih tinggi daripada orang tua dalam kebudayaan kita. Lebih tinggi, lebih penting, sebab seperti diistimewakan dengan penyematan sebutan untuk memberi tanda tersendiri. Untuk apa penandaan bila yang ditandai tak penting?
Pandangan jungkir balik tentang derajat itu telah dipatahkan, juga oleh bahasa, yaitu oleh fakta bahwa bahasa Indonesia tidak mengenal ungkapan “bekas/mantan anak”, padahal ada ungkapan “mantan suami” atau “mantan istri”. Jangan lupa, bahasa kita juga punya leksem atau kata untuk orang tua yang sudah tak punya pasangan, entah meninggal entah cerai. Kita tahu persis istilah “duda”, untuk suami yang tak lagi punya istri, dan “janda”, untuk istri yang tak bersuami lagi.
Tetap menggoda adalah pertanyaan mengapa ada rumpang dalam bahasa kita, antara lain dalam soal keruangan dan kekerabatan seperti yang baru saja kita bicarakan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo