Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Utang Indonesia dan Krisis Ekonomi Sri Lanka

Apakah Indonesia dapat mengalami krisis ekonomi seperti Sri Lanka? Perlu melihat juga pertumbuhan ekonomi dan penggunaan utang.

28 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Krisis ekonomi di Sri Lanka dipicu antara lain oleh utang luar negeri yang besar.

  • Apakah krisis serupa dapat melanda Indonesia?

  • Perlu melihat rasio utang terhadap PDB dan kondisi pertumbuhan ekonominya.

Bawono Kumoro
Associate Researcher di Indikator Politik Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam beberapa bulan terakhir, dunia dikejutkan oleh krisis ekonomi di Sri Lanka. Pemerintah Sri Lanka mengumumkan bahwa mereka gagal membayar utang luar negeri senilai US$ 51 miliar. Mereka juga menyatakan bangkrut karena kas negara untuk membeli bahan bakar, listrik, dan bahan pangan tidak lagi tersedia. Bahkan, pemerintah meminta warga negaranya di luar negeri mengirim uang demi membantu masyarakat di dalam negeri untuk membeli kebutuhan pokok dan bahan bakar. Krisis hebat ini membuat Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa kabur ke Singapura. Ini merupakan kondisi terburuk Sri Lanka sejak merdeka pada 1948.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hal lain yang juga berkontribusi terhadap kebangkrutan Sri Lanka, antara lain karena kehilangan pendapatan dari sektor pariwisata akibat pandemi Covid-19 selama hampir tiga tahun. Naiknya harga komoditas akibat perang Rusia-Ukraina menambah beban ekonomi negeri itu.

Krisis hebat yang dialami Sri Lanka tersebut melahirkan pendapat bahwa Indonesia, yang juga memiliki jumlah utang luar negeri tinggi, dapat terperosok ke dalam krisis serupa. Benarkah demikian?

Sebagai sebuah pendapat tentu saja hal itu sah untuk dilontarkan. Namun apakah krisis Sri Lanka akan juga dialami Indonesia hanya karena kondisi utang luar negeri? Untuk itu perlu ditelaah lebih jauh agar pendapat semacam ini dapat ditanggapi secara proporsional.

Pertama, harus dilihat bagaimana kondisi pertumbuhan ekonomi sebuah negara untuk menilai apakah negara tersebut akan gagal dalam melunasi utang luar negerinya atau tidak. Selama negara tersebut masih memiliki pertumbuhan ekonomi positif dan utang luar negeri terus diusahakan turun, besar kemungkinan negara itu akan lolos dari jerat utang dan ketidakpastian ekonomi di masa depan.

Bagaimana kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini? Apabila merujuk pada data terbaru Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2022 sebesar 5,1 persen, yang menegaskan bahwa tren pertumbuhan di atas 5 persen selama tiga kuartal beruntun. Hal itu berarti pertumbuhan ekonomi sudah kembali pada jalur semula saat kondisi sebelum dilanda pandemi Covid-19.

Kedua, bagaimana dengan kondisi utang Indonesia? Merujuk pada data Kementerian Keuangan hingga 31 Mei 2022, posisi utang Indonesia mencapai Rp 7.002,24 triliun dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 38,88 persen. Realisasi utang itu naik 9,1 persen dibanding realisasi utang pada Mei 2021 yang sebesar Rp 6.418,5 triliun, tapi turun sebesar 0,54 persen dibanding posisi utang pada April 2022.

Rasio utang terhadap PDB sebesar 38,88 persen merupakan angka yang cukup aman. Rasio di bawah 60 persen merupakan ambang batas aman utang sebuah negara. Kondisi tersebut juga masih jauh bila dibanding Sri Lanka, yang rasio utangnya lebih dari 100 persen.

Selain itu, sebagian besar utang Indonesia berupa surat berharga negara (SBN) berdenominasi rupiah. Menurut Kementerian Keuangan, komposisi utang hingga 31 Mei 2022 berasal dari penarikan SBN sebesar Rp 6.175,83 triliun atau mencapai 88,20 persen. Penarikan dalam bentuk rupiah sebesar Rp 4.934,56 triliun, yang berasal dari penerbitan surat utang negara (SUN) sebesar Rp 4.055,03 triliun dan surat berharga syariah negara sebesar Rp 879,53 triliun. Hal ini sangat berbeda dengan Sri Lanka, yang terlilit utang valuta asing dalam jumlah besar dan sebagian besar merupakan utang luar negeri.

Sementara itu, komposisi utang Indonesia berasal dari pinjaman senilai Rp 826,41 triliun (11,8 persen). Utang ini terdiri atas pinjaman dalam negeri sebesar Rp 14,74 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp 811,67 triliun. Adapun utang luar negeri terdiri atas pinjaman bilateral sebesar Rp 280,32 triliun, pinjaman multilateral Rp 488,62 triliun, dan bank komersial Rp 42,72 triliun. Jadi, komposisi pinjaman luar negeri didominasi pinjaman multilateral. Kondisi ini jauh berbeda dengan Sri Lanka, yang hampir semua utangnya berada dalam skema bilateral.

Persoalan utang memang sangat seksi untuk dijadikan isu komoditas politik. Hal itu lantaran sebagian besar dari kita sekadar peduli pada besaran jumlah utang, tidak sampai meneliti lebih jauh komposisi utang tersebut yang terdiri atas apa saja, untuk apa, dan apakah rasionya aman atau tidak terhadap PDB.

Selain itu, persepsi publik terhadap kondisi ekonomi nasional berada dalam tren positif. Hasil survei tatap muka nasional Indikator Politik Indonesia periode 16-24 Juni 2022 menunjukkan bahwa jumlah responden yang menilai kondisi ekonomi nasional buruk atau sangat buruk turun menjadi 30,5 persen dari 39,1 persen pada survei periode 16-24 April 2022.

Data pertumbuhan ekonomi dan utang Indonesia memperlihatkan bahwa Indonesia tengah berada dalam kondisi yang jauh dari jurang resesi. Dengan kondisi tersebut, tidak berlebihan apabila Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memberikan label "sakit jiwa" kepada pihak-pihak yang mengatakan bahwa krisis yang tengah terjadi di Sri Lanka dapat terjadi di Indonesia.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus