Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dewan Perwakilan Rakyat telah memilih Arsul Sani sebagai hakim Mahkamah Konstitusi.
Arsul Sani akan berkonsultasi dulu dengan DPR sebelum memutuskan perkara judicial review.
Boleh jadi ini adalah cara DPR untuk mengkooptasi MK.
Rino Irlandi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahasiswa Program Magister Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat telah memilih koleganya, Arsul Sani, sebagai hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang menggantikan posisi Wahiduddin Adams. Arsul saat ini menjabat Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan dan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Komisi Hukum DPR menyatakan salah satu alasan terpilihnya Arsul sebagai hakim konstitusi adalah Arsul bersedia melakukan konsultasi lebih dulu dengan DPR sebelum memutuskan perkara judicial review atau uji materi terhadap sebuah undang-undang. Hal itu disampaikan Arsul saat mengikuti uji kelayakan dan kepatutan calon hakim MK. Bahkan Arsul tak mempermasalahkan bila konsultasi tersebut dilakukan di ruang tertutup.
Konsultasi dengan DPR
Untuk alasan tersebut, saya benar-benar tak setuju. MK telah menyediakan ruang formal bagi DPR untuk mempertahankan produk legislasinya. Ruang formal itu selalu ada dalam persidangan perkara judicial review. Dalam persidangan tersebut, DPR diberi kesempatan mengemukakan pendapat. Mereka pun boleh menggunakan argumen apa pun demi mempertahankan undang-undang hasil kerja mereka.
Jadi, untuk apa hakim konstitusi berkonsultasi secara pribadi dengan DPR sebelum memutus perkara? Ini adalah ide buruk. Menurut saya, ada niat terselubung di belakang itu. Boleh jadi ini merupakan cara DPR mengkooptasi MK.
MK adalah penjaga konstitusi. Lembaga ini mengawasi undang-undang yang dibuat DPR agar selalu sejalan dengan konstitusi. Jika tak sejalan, MK akan membatalkan undang-undang itu sehingga tak lagi berlaku.
Pada 2020, lembaga riset Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif merilis hasil penelitian mereka tentang putusan MK selama 17 tahun. Dari 1.319 putusan yang telah dihasilkan MK, 91 di antaranya mengabulkan permohonan untuk seluruhnya dan 180 putusan lainnya mengabulkan permohonan untuk sebagian.
Dari sekian banyak putusan itu, 11 undang-undang dinyatakan tak berlaku secara keseluruhan karena melawan konstitusi. Tiga di antara 11 regulasi itu adalah Undang-Undang Ketenagalistrikan 2003, Undang-Undang Perkoperasian 2014, dan Undang-Undang Sumber Daya Air 2015.
Anda mungkin juga ingat bagaimana MK nyaris membatalkan mahakarya DPR secara keseluruhan, yaitu Undang-Undang Cipta Kerja. Nasib baik bagi DPR dan pemerintah karena MK masih memberi waktu dua tahun bagi mereka untuk merevisinya.
Bila independensi dan imparsialitas MK terjaga, satu per satu produk undang-undang yang bermasalah dan korup dapat dibatalkan oleh MK. DPR tentu tak mau hal ini terjadi. Komisi Hukum DPR juga menyampaikan bahwa salah satu pertimbangan mereka memilih Arsul adalah kekecewaan mereka terhadap MK yang kerap mengabulkan gugatan untuk membatalkan sebuah undang-undang yang mereka anggap sudah memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
Melalui mekanisme konsultasi, DPR tampaknya hendak mencengkeram MK. Saat itu terjadi, Anda tak lagi bisa berharap bahwa hak-hak Anda akan dilindungi oleh institusi peradilan konstitusi tersebut.
Bila itu terjadi, bukan berarti MK tak ada lagi. MK masih tetap ada. Gedungnya masih bisa Anda lihat di Jalan Medan Merdeka Barat. Hakim-hakim dan pegawainya pun masih tetap bekerja. Namun fungsinya telah berubah.
Saat ini Mahkamah Konstitusi adalah penjaga konstitusi dan hak-hak asasi Anda. Saat hak-hak Anda dilanggar dan dilecehkan oleh undang-undang, Anda bisa mengadu ke MK. Tapi, saat MK telah dikuasai penuh oleh DPR, Anda tak bisa berharap seperti itu lagi. MK akan menjadi kaki tangan DPR dan pemerintah. Ia dapat menjadi alat untuk melumpuhkan oposisi serta penentang penguasa dan DPR melalui putusan-putusannya.
Kasus Polandia
Kondisi mengerikan semacam itu pernah terjadi di Polandia. Saat negara di Benua Biru itu dikuasai oleh Partai Hukum dan Keadilan (PiS), mahkamah konstitusi negeri itu hanya menjadi stempel bagi PiS, termasuk untuk kejahatan yang ditujukan kepada lawan politik partai tersebut.
Misalnya, setelah sukses menguasai MK dengan mengganti hakimnya dengan hakim yang setia kepada PiS, partai itu menggunakan MK untuk “menyingkirkan” Ketua Mahkamah Agung Malgorzata Gersdorf, yang telah membangun sistem peradilan di negeri itu setelah Polandia merdeka dari Uni Soviet.
PiS mengajukan judicial review terhadap peraturan pemilihan Ketua MA ke MK. MK, yang telah dikuasai PiS, mengabulkan gugatan itu dan menyatakan peraturan pemilihan Ketua MA yang menjadi dasar pengangkatan Gersdorf itu inkonstitusional.
Serangan tersebut mungkin tak langsung berakibat pada pemecatan Gersdorf pada saat itu. Namun, sebagai akibat dari adanya putusan MK itu, status Gersdorf sebagai Ketua MA diragukan karena dasar hukum pengangkatannya telah dibatalkan.
Kita tentu tak mau hal itu terjadi pula di sini. Hal itu akan membuat Mahkamah Konstitusi kehilangan independensi dan imparsialitas. Prinsip keberimbangan kekuasaan (checks and balances) akan hilang pula sehingga pengawasan terhadap lembaga legislatif dan eksekutif akan semakin lemah. Untuk itu, penetapan Arsul Sani sebagai calon hakim konstitusi harus dibatalkan sebelum disahkan dalam Sidang Paripurna DPR.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo