Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Arus Uang Panas dan Pajak Tobin

Arus modal asing yang masuk ke pasar keuangan Indonesia semakin deras.

11 Februari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Haryo Kuncoro
Direktur Riset Socio-Economic and Educational Business Institute Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arus modal asing yang masuk ke pasar keuangan Indonesia semakin deras. Hingga pertengahan Januari 2019, jumlah aliran yang masuk mencapai Rp 14,75 triliun. Aliran ini diprediksi bertambah tinggi, mengingat pamor surat utang Indonesia sebagai instrumen pencetak imbal hasil yang menarik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masuknya uang panas (hot money) ini menambah pasokan valuta asing. Hasilnya, nilai tukar rupiah terapresiasi menjadi sekitar Rp 14 ribu per dolar Amerika Serikat. Namun uang panas bersifat temporer, yang sewaktu-waktu dan dalam tempo sekejap bisa keluar dari pasar. Tren ini diproyeksikan mencapai titik balik seiring dengan rencana bank sentral Amerika, The Fed, menaikkan suku bunga acuannya pada akhir kuartal I nanti.

Untuk itu, pemerintah tengah mempertimbangkan pengenaan "pajak Tobin" bagi transaksi keuangan yang dilakukan dalam jangka pendek. Pajak Tobin digaungkan pada 1972 oleh ekonom Amerika pemenang Hadiah Nobel, James Tobin, saat terjadi volatilitas nilai tukar setelah runtuhnya sistem kurs tetap Bretton Woods. Prinsip awal yang dia kemukakan adalah mengenakan pajak atas semua pembayaran transaksi kurs untuk mengekang dana asing agar tidak keluar secara tiba-tiba.

Tarif pajak yang diajukan Tobin cukup rendah, hanya 0,1-0,5 persen. Dalam perkembangannya, ide pajak Tobin mencakup pajak untuk transaksi saham, obligasi, dan aset finansial asing lainnya. Dengan begitu, pajak Tobin dapat menyaring kualitas modal asing jangka pendek yang masuk.

Adopsi kebijakan pajak Tobin untuk Indonesia memerlukan kajian yang komprehensif. Dasar hukumnya akan memerlukan persetujuan dari parlemen. Opsi lain dalam bentuk fee, komisi, atau charge lebih terbuka diimplementasikan guna menyiasati kendala proses legislasi.

Apa pun formatnya, semua itu dianggap sebagai tambahan biaya transaksi. Konsekuensinya, pasar finansial bisa sepi karena pelaku pasar menghindari pajak tersebut. Kemungkinan lain, pelaku pasar berpindah ke negara lain yang tidak menerapkan pajak itu. Felix (1996) melaporkan, 84 persen transaksi keuangan dunia terjadi di Inggris, Amerika, Jepang, Singapura, Swiss, Jerman, Prancis, dan Australia. Intinya, kebijakan pajak Tobin mubazir jika dilakukan Indonesia sendirian.

Kemubaziran itu juga tebersit dari cakupannya. Pajak Tobin bersifat insidental. Tatkala tidak ada mobilitas dana asing secara masif, pajak ini otomatis tidak dapat dieksekusi.

Dari sudut obyek pajaknya, pajak Tobin menyasar transaksi uang lintas valuta asing. Pungutan pajak atas pertukaran mata uang semacam ini membelokkan logika bahwa transaksi valuta asing diperlakukan sama statusnya dengan transaksi perdagangan barang atau jasa lintas negara.

Fisher (1911) merangkum hubungan uang dengan barang/jasa menjadi uang dikali velositas (kecepatan perpindahan uang) sama besar dengan nilai dari barang/jasa yang ditransaksikan. Dengan asumsi velositas stabil, total jumlah uang akan mengikuti nilai barang/jasa yang dipertukarkan.

Dalam konteks inilah pajak Tobin sesungguhnya memajaki uang dalam kedudukannya sebagai "media" alih-alih "tujuan" pertukaran. Bandingkan, misalnya, dengan pajak pertambahan nilai (PPN) yang memungut 10 persen atas nilai barang/jasa. Dalam kasus ini, pertukaran uang dibarengi dengan pertukaran barang/jasa.

Pajak Tobin juga bersifat mengikat pada pertukaran uang. Pertukaran uang lintas valuta sama sekali tidak disertai dengan pertukaran barang/jasa. Dengan demikian, pajak Tobin, sadar atau tidak, sesungguhnya merupakan pengakuan atas komodifikasi uang. Komodifikasi uang, dalam perspektif yang lebih luas, bisa merugikan kegiatan penanaman modal.

Peluang pajak Tobin: menahan arus modal tetap terbuka jika ditujukan pada investasi jangka pendek atau yang bersifat spekulatif. Persoalannya, bagaimana otoritas pajak membedakan antara spekulator dan investor sejati?

Kegagalan memilah akan berakibat pada dikotomi sektor moneter dan sektor riil. Sektor finansial sangat dinamis, sedangkan sektor riil tetap saja jalan di tempat. Tegasnya, pergerakan ekonomi menjadi semu.

Agar pajak Tobin tetap produktif, pemajakan atas transaksi keuangan perlu diberlakukan secara selektif. Mengikuti pemikiran Fisher, transaksi keuangan tanpa transaksi barang/jasa wajib dikenakan pajak Tobin. Sebaliknya, transaksi keuangan lintas valuta yang bertalian erat dengan output sebagai pokoknya terbebas dari pajak Tobin.

Dengan logika yang sama, pembalikan pajak Tobin dalam bentuk insentif juga layak diterapkan. Insentif tidak diberikan pada transaksi keuangan tanpa transaksi barang/jasa. Sebaliknya, transaksi keuangan lintas valuta yang berkaitan erat dengan keluaran sebagai basisnya perlu disediakan insentif.

Alhasil, opsi antara pajak dan insentif kembali pada pertanyaan apakah dana asing bisa dibimbing menuju industri yang berorientasi ekspor dan investasi langsung. Dengan desain ini, konektivitas sektor finansial dan sektor riil tetap terpelihara. Pengalaman krisis moneter 1997/1998 memberi pelajaran pentingnya ihwal merawat keseimbangan di antara kedua sektor tersebut.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus