Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Asia tenggara sebelum abad ke-17

Kota-kota di asia tenggara pada abad ke-16 dan 17 maju perdagangannya. kerajaan aceh dan makasar juga memiliki teknologi persenjataan yang hebat. tapi setelah itu bangsa-bangsa asia tenggara mundur.

17 November 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAKASAR, abad ke-17. Seorang Eropa, disebut Bapa Alexander de Rhodes, berkunjung ke kerajaan di Timur itu. Di sana bertahta raja Karaeng Pattengaloan. Bapak Rhodes terkesan nampaknya. Dalam catatan perjalanannya yang kini dapat dibaca para ahli sejarah, ia menulis bagaimana Karaeng Pattengaloan bukan saja "teramat sangat bijak" serta "jujur sekali", tapi juga seorang menggemari ilmu. Raja Makasar itu fasih berbahasa Portugis, punya koleksi besar buku Spanyol, pandai matematika dan punya catatan yang cermat tentang kejadian dari ke hari di kerajaannya. Banyak orang Indonesia sendiri kini yang tak kenal nama penguasa yang mentakjubkan tersebut. Padahal Pattengaloan adalah contoh zaman itu, tatkala kerajaan di Indonesia tumbuh di pantai-pantai, makmur, maju, dan terbuka ke segala arah. Di tahun 1654 misalnya, di Makasar sudah tiba sebuah teleskop Galileo yang sangat mahal dan jarang terdapat -- hanya 45 tahun setelah Galileo sendiri mengembangkan teknik teropong astronomi itu. Hubungan Aceh dan Turki sudah ada di tahun 1560-an, dan karenanya di Aceh berkembang teknologi senjata yang hebat: meriam-meriam raksasa. Kota-kota Indonesia, diisi oleh pribumi yang sama jangkungnya dengan orang Eropa, juga tak kalah besar dan sibuk ketimbang kota di Eropa. Kekayaan para saudagar dan raja-rajanya juga mencengangkan. "Dalam hal ini, paling tidak, negara-kota di Asia Tenggara dalam abad ke-16 dan awal 17 menyerupai Venisia, Genoa, Antwerp dan pusatpusat lain kapitalisme Barat di masa awalnya," demikian tulis seorang sejarawan Australia, Anthony Reid. Tapi, apa gerangan yang terjadi, hingga kita kini termasuk negeri "miskin" sementara Venisia dan lain-lain itu termasuk negeri kaya"? Anthony Reid mungkin sedikit dari sejarawan yang mencoba mencari jawab bagi pertanyaan besar itu. Tulisannya, The Origins of Poverty in Indoesia, yang dibacakannya dalam sebuah seminar di Canberra bulan ini, merupakan khasanah yang memikat di balik bahasanya yang sederhana dan tebalnya yang cuma 26 halaman. Agak sukar memang mengikhtisarkan sejarah sekian abad. Namun dapatlah disebut bahwa para penyerbu dari Barat, terutama dengan cara ganas orang Belanda, berhasil memukul kota kerajaan di pantai-pantai itu. Rupanya dengan teknologi yang cukup sekalipun, mereka tak siap buat berperang. Cara perang kerajaan Asia Tenggara adalah cara perang yang menghemat jiwa manusia, karena penduduk masih jarang dan tenaga sangat berharga. Sementara itu serbuan bangsa Belanda belum pernah ada duanya, bukan cuma di Asia Tenggara, tapi juga di seluruh dunia . . . Sejarah pun serasa mempercepat langkah. Keharusan berperang yang makin mahal itu, menyebabkan hanya penguasa kuat saja yang bisa bertahan. Dan pada gilirannya, hadirnya persenjataan dan prajurit sewaan asing tambah mengukuhkan para penguasa di hadapan rakyat mereka. Dan karena para penguasa itu sendiri berdagang dengan dunia luar, bahkan memaksakan monopoli, akibatnya mudah ditebak akumulasi modal swasta, yang bebas dari gebrakan raja, bertambah-tambah mustahil. Akibat lain dari serbuan bangsa Belanda dan terpukulnya kerajaan di pantai ialah bergesernya pusat kegiatan dari pesisir ke pedalaman. Abad ke-17 adalah abad Asia Tenggara yang tergusur dan tersisih. Mereka bukan lagi bandar dagang internasional. "Hanya sedikit orang Asia Tenggara yang kaya di luar istana yang berkuasa," tulis Reid, "dan istana-istana ini pun telah mengundurkan diri dari perdagangan sama sekali (Jawa misalnya) atau telah jadi terlampau lemah untuk memperlakukan para pedagang Eropa atas dasar persamaan ekonomi dan kebudayaan. " Dan ketika kota besar di pelabuhan jadi koloni asing, serta pribumi seakan sembunyi di pedalaman, kontak dengan perkembangan dunia luar pun macet. Karaeng Pattengaloan tak ada lagi. Teknologi tak kunjung berkembang. Dan kita pun bertanya apakah semua itu memang kelemahan suatu bangsa, ataukah kebetulan sejarah yang kemudian berlarut-larut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus