Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Atasi Ketimpangan dengan Pendidikan

Ketimpangan adalah permasalahan besar yang berupaya diatasi pemerintah dengan berbagai pendekatan, seperti reformasi sistem finansial dan tata kelola korporasi.

27 Juli 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Atasi Ketimpangan dengan Pendidikan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Najelaa Shihab
Peneliti Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketimpangan adalah permasalahan besar yang berupaya diatasi pemerintah dengan berbagai pendekatan, seperti reformasi sistem finansial dan tata kelola korporasi. Strategi yang jarang dibicarakan adalah kekuatan pendidikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Esensi pendidikan adalah menumbuhkan potensi setiap anak. Dalam kata-kata Miles Courak, esensinya adalah memastikan masa depan anak tidak ditentukan oleh di mana atau dari siapa ia dilahirkan. Pendidikan sejak dini adalah intervensi antisipasi yang terbukti paling murah dalam jangka panjang (Heckman, 2017). Pengalaman Cina, Kanada, dan Finlandia menunjukkan bahwa pendidikan mempersatukan berbagai pemangku kepentingan, termasuk partai politik yang berseberangan dalam isu kesejahteraan sosial.

Di era digital, relevansi pendidikan untuk mengatasi ketimpangan semakin nyata karena terjadi ke-

senjangan keterampilan. Para ahli memprediksi 22-60 persen pekerjaan berketerampilan rendah akan hilang dalam beberapa dekade ke depan (Frey & Osborne, 2013). Korban utamanya adalah anak berlatar belakang kemiskinan karena penguasaan teknologi menghasilkan ketidaksetaraan informasi yang besar.

Kenyataannya, mengatasi ketimpangan dengan berpihak pada anak dalam kebijakan pendidikan bukan pilihan populer. Politikus tidak mengandalkan sektor ini karena kurang mempengaruhi elektabilitas. Prosesnya jauh lebih panjang dari masa jabatan penguasa dan sering tidak nyata. Di sisi masyarakat pemilih, kepentingannya sebagai individu membuat isu pendidikan dan pemerataan bagi generasi berikutnya tidak relevan dibanding risiko seperti kehilangan pekerjaan.

Dengan komitmen dari pemangku kebijakan pun, belajar dari pengalaman Blair dan Brown di Inggris, misalnya, pendidikan banyak berfokus pada kepentingan orang dewasa, bukan anak. Paradigma dengan asumsi mekanisme pasar, yang hanya menguntungkan dalam jangka pendek, dan melupakan filosofi pendidikan membawa rangkaian masalah. Di Indonesia, salah kaprah yang sama adalah bagian dari benang merah kebijakan kita. Contohnya, kebijakan tunjangan guru yang diharapkan berjalan seiring dengan pemerataan kompetensi dan distribusi ternyata tidak mencapai tujuan, apalagi bila dikaitkan dengan pencapaian anak.

Analisis Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan pada peraturan pemerintah dan pengalokasian anggaran pendidikan sejak kemerdekaan menunjukkan bahwa isu ketimpangan cenderung dikebelakangkan. Pendekatan akses dan mutu tentu tidak bertentangan dengan ketimpangan. Namun tujuan pemerataan jangka panjang perlu diprioritaskan. Langkah seperti zonasi sekolah adalah kebijakan yang perlu didukung tapi perlu dipastikan agar tidak membatasi anak dari kondisi rentan ke sekolah yang menghalangi capaian optimal (Poder, 2016).

Strategi terpenting adalah dukungan kepada keluarga serta lembaga nonformal dan informal. Berbagai tunjangan finansial atau pun nonfinansial bagi orang tua anak usia dini akan memberikan modal keterampilan bagi anak, keluarga, dan negara. Bahkan, di usia anak 3 tahun pun, kesenjangan kemampuan anak yang terlahir dalam kemiskinan 27-40 persen dibanding anak yang lahir dengan sumber daya keluarga yang baik (Sacks, 2017). Sebanyak 57 persen anak Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan perlu dukungan, bahkan sejak sebelum dilahirkan.

Pendidikan nonformal dan informal berperan sentral dalam perubahan. Kita sering mengandalkan standardisasi, menyamakan pendidikan dengan persekolahan, tapi melupakan pengaruh pertemanan dan lingkungan serta pemberdayaan media dan diniyah. Dalam banyak konteks, formalisasi yang dialami anak, terutama anak marginal, adalah pengajaran berkualitas rendah. Padahal, banyak partisipasi publik yang efektif mendorong pertumbuhan anak, seperti literasi digital sampai pendidikan adat dan antikorupsi.

Tentu intervensi anak sejak dini, pengembangan keluarga, dan pelibatan publik bukanlah solusi instan untuk semua masalah. Strategi predistribusi maupun redistribusi harus beriringan, bagaikan dua sisi dari koin yang sama, untuk mengatasi ketimpangan dan meningkatkan mobilitas. Dengan keterbatasan kapasitas serta tuntutan anggaran, kita tidak bisa hanya berfokus pada metode transfer kesejahteraan secara tradisional. Kita perlu menunjukkan keberpihakan pada kepentingan anak yang membutuhkan modal sekarang untuk mencapai tujuan masa depan. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus