Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Rio Christiawan
Kriminolog dan Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Tim gabungan pencari fakta (TGPF) kasus Novel telah mengumumkan hasil penyelidikannya. Namun pencarian itu hanya berakhir pada pengungkapan motif pelaku, bahkan motif itu cenderung bersifat asumtif dan spekulatif. Tim pun kembali "melemparkan" tanggung jawab kepada tim teknis yang disarankan agar dibentuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut tim, pelaku penyiraman air keras kepada Novel ada kemungkinan punya motif balas dendam karena Novel dianggap melakukan tindakan yang melampaui kewenangannya. Penjelasan ini terkesan kurang mendalam dan berakhir dengan "dugaan kemungkinan" pelaku. Tim dalam hal ini jelas tidak menuntaskan pekerjaannya dan justru menghadirkan "thriller". Masyarakat bagai masuk ke sebuah film thriller yang berakhir dengan spekulasi.
Tim minim menyajikan fakta baru, bahkan terkesan hanya membuat analisis kriminologis atas fakta yang sudah diketahui umum. Laporan tim hanya menghasilkan opini yang berakhir pada perdebatan di ruang publik.
Ada konstruksi kriminologis secara terbalik. Masyarakat ingin menyaksikan fakta soal siapa (auktor intelektualis) dalam kasus Novel dan apa motifnya. Tapi tim menghadirkan konstruksi motif pelaku dan baru akan menelusuri kemungkinan siapa pelakunya.
Sebagaimana diuraikan oleh Sara and Nyer (2007), teknik mengungkap kejahatan melalui motif lebih dulu dilakukan untuk mempersempit kemungkinan pelaku kejahatan. Secara kriminologis mungkin saja motif terungkap lebih dulu dibanding pelakunya.
Secara kriminologis dapat disimpulkan bahwa auktor intelektualis (Mr X) penyerangan adalah orang yang memiliki pengaruh cukup kuat. Jika Novel sendiri yang menyebutkan dugaan siapa pelakunya-mengingat Novel pernah menyatakan kepada media bahwa dia mengetahui siapa pelaku itu-konflik akan tetap berlangsung antara Novel dan Mr X. Dalam hal ini, polisi dan tim hanya memverifikasi pernyataan Novel.
Sebaliknya, jika tim yang mengungkapkan siapa pelakunya, konflik akan bergeser menjadi antara tim dan Mr X. Tampaknya pergeseran arah konflik tersebut yang dihindari, baik oleh polisi maupun tim. Jerome Klass (1999) menyebutkan bahwa ada kecenderungan otoritas yang berwenang akan menghindari konflik dengan terduga pelaku kejahatan yang memiliki kekuasaan dan pengaruh politik yang kuat, sehingga hukum akan selalu tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.
Perpanjangan waktu yang diminta oleh tim dinilai banyak pihak hanya sebagai upaya untuk mengulur waktu agar Novel yang mengungkapkan siapa pelakunya. Memang relasi antara polisi dengan tim dan Novel dapat dikatakan tidak saling terbuka seutuhnya. Dalam konteks pidana, jika korban lebih mengetahui siapa pelaku kejahatan, korban akan menginformasikannya kepada kepolisian. Namun dalam hal ini tampaknya masing-masing pihak masih wait and see akibat relasi yang tidak terbuka tersebut.
Apa pun pola relasi yang terbentuk, negara harus hadir untuk memberikan rasa aman di tengah masyarakat, dalam hal ini dengan mengungkapkan siapa pelaku sebenarnya, terlepas dari apa pun motifnya. Keadilan dalam konteks kriminologis adalah antara hukuman yang diterima pelaku dan perilakunya kepada korban, terlepas dari motif kejahatan itu sendiri.
Dalam konteks kriminologis, seharusnya konstruksi penyiraman air keras terhadap Novel ini sederhana. Pelaku penyiraman (Y) pasti bukan auktor intelektualis (X) sehingga relasi Novel pasti bukan dengan Y, melainkan dengan X. Namun variabel Y akan menentukan X yang paling tepat di antara kemungkinan yang ada.
Laporan tim menyebutkan beberapa kemungkinan pelaku berdasarkan motif sederhana (tidak mengandung kebaruan). Atas laporan tersebut, presiden memberikan perpanjangan waktu selama tiga bulan untuk menuntaskan pencarian fakta tersebut oleh tim teknis lapangan.
Jika tim teknis lapangan dapat menguraikan motif penyiraman air keras terhadap Novel serta "memperkirakan" sejumlah pelaku berdasarkan relasi sebab-akibat dan bukti yang ditemukan di tempat kejadian perkara, tim dapat menentukan pelakunya berdasarkan profil dan kemungkinan yang ada (profiling theory). Bagaimana jika ditemukan profil yang mirip pada beberapa pelaku? Jawabannya, pelaku adalah orang yang memiliki akses pada kekuasaan yang paling kuat atau mereka yang kejahatannya melibatkan akses kekuasaan yang besar.
Untuk mempercepat pengungkapan kasus ini, akan sangat membantu jika relasi antara Novel dan tim lebih terbuka. Ada risiko tim tidak mengungkap pelaku yang sebenarnya karena pihak yang dikategorikan sebagai "pihak yang memiliki potensi sebagai pelaku" memiliki penyangkalan yang logis (possible of deniability), mengingat auktor intelektualisnya bukan pelaku lapangan.
Jika masing-masing pihak, yakni polisi, tim, dan Novel, tidak memiliki relasi terbuka dan kesamaan misi untuk menjawab pertanyaan siapa pelaku sebenarnya, kasus ini sangat berpotensi akan berakhir dengan antiklimaks. Jika kasus ini berakhir dengan antiklimaks dan menjadi X-files-istilah kriminologi untuk kejahatan yang tidak terungkap-hal itu akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia.