Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seno Gumira Ajidarma
Panajournal.com
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Badut politik adalah kekonyolan karena yang membuat orang tertawa adalah kebodohannya. Bukan kebodohan manusia lugu, melainkan kebodohan manusia yang berusaha tampak pintar tapi gagal. Maka tawa yang lahir dari perilaku badut politik ini bukanlah tawa kebahagiaan yang wajib disyukuri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tawa bagi perilaku badut politik adalah tawa yang mewakili perasaan tidak enak, seperti yang berlangsung dalam discomfort humor. Bedanya, ini bukan panggung komedi. Ini realitas politik. Dengan demikian, jika dalam konteks panggung komersial penonton dirugikan sekadar karena batal terhibur, dalam kehidupan sosial para badut politik merugikan kemanusiaan karena eksistensi mereka yang mubazir.
Tawa dalam perasaan tidak enak atas kekonyolan badut politik ini, jika dijabarkan lebih jauh, adalah tawa yang lahir dari perasaan jengkel, marah, getir, dan keterhinaan karena kecerdasan yang tertawa telah dilecehkan. Semua itu campur aduk jadi satu, tapi tetap menjelma tawa karena berlangsungnya kerja humor dalam perilaku tersebut: bisosiasi, yang berarti lahirnya tawa akibat kejutan karena harapan tak terpenuhi dari perbenturan dua kerangka acuan tak sepadan (Koestler, 1980 [1964]: 321-9). Dalam hal badut politik, ketika sensasi keterkejutannya memudar, saat itulah ketersadaran kritis melahirkan geleng-geleng kepala, yang memiliki makna dominan seperti berikut: kok bisa?
Artinya, perilaku badut politik yang menimbulkan tawa itu untuk sekilas berada di luar nalar orang banyak (yang sudah salah kaprah disebut "akal sehat"). Namun, ketika "disehatkan", alias diperiksa lebih rinci sebab-akibatnya, meskipun sebetulnya kemudian akan "masuk akal" (untuk tidak mengatakannya "terpaksa bisa diterima") juga urutan peristiwanya, kebadutannya tidak perlu dimaklumi dalam keseriusan politik. Dalam politik, semua orang harus serius dan pintar. Jika tidak, gelanggang politik akan menjadi panggung komedi dan para "negarawan" (ya, tanda kutip itu ada maksudnya!) akan menjadi badut-badut politik yang berpengaruh besar terhadap adab politik itu sendiri.
Adab? Seberapa beradab politik Indonesia kontemporer? Tanggapan terhadap badut politik bisa menjadi ukuran. Jika kebadutannya dengan kesadaran penuh sengaja diabaikan, sehingga terisolasi sebagai kebadutan personal dan lokal, tersila diukur keberadabannya dalam mencegah kerugian. Jika kebadutannya ditanggapi dengan keseriusan berlebih-lebihan, karena pemanfaatannya yang sangat menguntungkan sebagai komoditas politik, tersila diukur keberadabannya, ketika pihak mana pun saat kebadutannya terbongkar segera menambah jumlah badut-badut politik.
Saya garis bawahi ungkapan "pihak mana pun" karena dalam tiupan angin politik, sebelum maupun sesudah kebadutan menjadi masalah yang berlebih-lebihan seriusnya, pihak mana pun memanfaatkan kebadutan itu sebagai komoditas politik dengan eksploitasi yang sebesar-besarnya. Bahkan, ketika angin politik berbalik, "mencari keuntungan dalam kerugian" pun dilakukan, sebagaimana politikus terandaikan mampu melakukannya. Namun, jika kebadutan yang dimanfaatkannya sebagai komoditas politik, metamorfosis dari politikus menjadi badut politik tidak dapat dielakkannya.
Bagaimanakah posisi penonton (panggung) politik? Dalam perbandingannya dengan panggung teater, penonton mungkin merasa tidak berpolitik. Namun penonton tidak dapat mengingkari betapa dirinya memang terlibat dalam politik, sebagaimana penonton teater tidak dapat mengingkari keterlibatannya menonton. Bagi teater, publik adalah faktor mutlak, karena tontonannya dianggap sukses bukan hanya jika terungkap dengan baik, tetapi juga bila publiknya terlibat dalam peristiwa teaternya (Soekito, 8/5/1972: 6).
Dioper kembali ke politik, giliran publik kini yang memberi makna keterlibatannya, menyaksikan badut politik sebagai komoditas politik.