Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Tiga Menguak Rasisme

Bagaimana dokter Soetomo, A.R. Baswedan, dan Liem Koen Hian memperjuangkan antirasisme. Sikap yang perlu diteladani di tengah keterbelahan masyarakat sekarang.

20 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Indonesia kini terbelah antara kubu nasionalis dan Islamis.

  • Konflik semakin parah manakala rasisme mulai merasuki arena pertarungan.

  • Kita perlu meneladani sikap anti-rasisme dokter Soetomo, A.R. Baswedan, dan Liem Koen Hian.

Idrus F. Shahab
Mantan Redaktur Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Indonesia kini nyaris tak bisa dikenali lagi. Bahkan, belakangan ini, politik elektoral, yang diperparah oleh meningkatnya ujaran kebencian di media sosial, telah membelah negeri tercinta ini: kalangan nasionalis di satu pihak dan kalangan Islamis di lain pihak. Hampir setiap topik sekonyong-konyong menjadi “panggung” kontestasi dua kelompok yang berbeda haluan tersebut. Terutama ketika menyinggung rasisme.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bukan cuma lenyapnya buron Harun Masiku, penyerangan Ade Armando dalam demonstrasi mahasiswa, dan pengunduran diri Tsamara Amany dari Partai Solidaritas Indonesia—yang disamakan dengan hijrahnya perempuan keturunan Arab itu ke kubu lawan—yang menjadi ajang sengketa pendapat mereka. Perang Rusia-Ukraina yang berkobar “nun jauh di seberang lautan” itu pun tiba-tiba menjadi “dekat” dan arena pertarungan untuk menegaskan “kebenaran” menurut versi masing-masing.

Konflik itu semakin tak masuk akal manakala rasisme mulai merasuki arena pertarungan. Gerah oleh kata-kata provokatif yang diutarakan beberapa pendakwah keturunan Arab (Hadramaut), beberapa warganet mempersilakan kaum Hadrami segera angkat kaki dari negeri ini. Dari kubu yang berseberangan pun muncul pembelaan sistematik seraya membeberkan daftar panjang kontribusi orang-orang yang memiliki garis keturunan dari negeri di barat daya Semenanjung Arabia itu dalam perang melawan kolonialisme, perang kemerdekaan, termasuk perjuangan diplomasi di dunia internasional. Dengan jurus menonjolkan kontribusi kaum sendiri dan menyembunyikan sumbangan pihak lawan, masing-masing kelompok mengklaim lebih "nasionalistis" dibanding yang lain.

Terlalu banyak energi yang dikerahkan dan waktu yang dikorbankan untuk satu noktah dalam perjalanan demokrasi di negeri ini: Pemilihan Umum 2024. Melihat keterbelahan yang semakin dalam dan absurd ini, tampaknya sudah saatnya kita mengetengahkan persahabatan—ketimbang persaingan—di antara kelompok etnis di atas. Diakui atau tidak, Indonesia yang terbelah ini tengah membutuhkan simpul-simpul perekat, bukan saja dalam bentuk ideologi, tapi juga dalam keteladanan.

Para pendiri negeri yang bersemangat antirasisme, seperti dokter Soetomo, A.R. Baswedan, dan Liem Koen Hian, merupakan contoh yang, bukan hanya tepat untuk menegaskan bahwa kemerdekaan merupakan kerja kolektif bangsa yang lintas etnis, tapi juga sebagai teladan. Apalagi ketiganya kebetulan hidup dalam ruang dan waktu yang sama: manakala kaum progresif sibuk menghimpun kekuatan dan identitas bersama untuk melawan kolonialisme Belanda pada 1930-an.

Soetomo, Baswedan, dan Liem Koen Hian, masing-masing pernah mengulurkan tangan untuk menolong rekannya serta membangun persahabatan lintas kelompok etnis yang tidak hanya berdampak personal, tapi juga strategis. Baswedan tidak mungkin lupa kegigihan Soetomo mempertahankan dirinya di harian Soeara Oemoem kala sejumlah kawannya merasa terusik oleh keberadaan seorang peranakan Arab asal Surabaya di media kaum nasionalis tersebut. Soetomo adalah pencetus Sumpah Pemuda Oktober 1928 dan Pemimpin Redaksi Soeara Oemoem.

Tekanan sebagian kalangan nasionalis agar Soetomo membatalkan kebijakan di kantor Soeara Oemoem itu lumayan berat dan bahkan sampai menimbulkan polemik. Di Batavia, harian kiri Bintang Timoer ikut meramaikannya dengan rangkaian penolakan: Soetomo telah melakukan kesalahan besar dengan memasukkan “bangsa asing”—Baswedan dan Tjoa Tjie Liang, yang peranakan Cina—ke dalam redaksi media tersebut.

Namun Soetomo menolak dengan keyakinan tak terbantahkan: mereka bukan orang asing. Baswedan dan Tjoa Tjie Liang lahir di Surabaya dan menjadi bagian dari perjuangan warga Surabaya yang melawan Belanda. Kecaman tak berhenti, tapi sikap Soetomo sekukuh batu karang: ia tetap bersama Baswedan dan Tjoa Tjie Liang di surat kabar itu.

Inilah Indonesia pada 1930-an. Sentimen rasial ini sengaja ditanamkan penjajah lewat kebijakan Vreemde Oosterlingen yang menggolongkan warga Hindia Belanda berdasarkan kelompok etnis. Adapun rasisme dalam bentuk lain, seperti stereotipe sederhana yang menilai orang keturunan sebagai liyan atau penggunaan sentimen rasialisme demi mengkonsolidasi kekuatan sendiri di antara masyarakat yang heterogen, masih belum tumpas.

Namun Soetomo, Baswedan, dan Liem Koen Hian telah makan asam garam dalam menghadapi konflik di komunitas etnis masing-masing dan sepertinya tengah menjalani legasi yang sama. Berhasil membidani kelahiran Sumpah Pemuda Keturunan Arab pada 4 Oktober 1934 di Semarang, Baswedan sempat menjadi orang yang dibenci sebagian kalangan Arab totok (wulaiti), tapi kemudian disayang sebagian besar kaum peranakan.

Sumpah Pemuda Keturunan Arab, yang istilah resminya Hari Kesadaran Indonesia-Arab, menegaskan bahwa Indonesia dan bukan Hadramaut sebagai tanah air mereka. Untuk itu, tak ada jalan selain meninggalkan kehidupan menyendiri dan mereka pun harus memenuhi kewajiban terhadap tanah air dan bangsa Indonesia. Ini satu langkah berani yang menampik kebijakan Vreemde Oosterlingen, yang diskriminatif, sekaligus menegaskan keberpihakan kepada kaum republikan.

Sama seperti Baswedan yang banyak menguras energinya untuk melawan etnosentrisme dan egosentrisme di komunitasnya, Liem Koen Hian menghadapi persoalan identitas kelompok yang bahkan boleh jadi lebih pelik. Dikenal cerdik dan nekat, Liem Koen Hian sibuk meyakinkan komunitas keturunan Tionghoa yang terpecah belah untuk melibatkan diri dalam perjuangan melawan penjajah.

Dalam Indonesierschap (warga negara Indonesia)-nya, Liem mengangankan komunitas Tionghoa yang terasimilasi dengan baik dalam masyarakat Indonesia. Gagasan ini mendapat penolakan keras dari kaum nasionalis Cina, kalangan oportunis yang senantiasa memburu kepentingan sendiri, dan para loyalis pro-Belanda di Hindia Belanda.

Di mata Liem, kerja sama dengan pemerintah Belanda tidak membuat posisi mereka disamakan dengan warga kelas satu: orang-orang Eropa dan Belanda. Baginya, bergabung dengan pergerakan adalah jalan keluar satu-satunya untuk membangun Indonesia yang merdeka dan bebas diskriminasi.

Di lapangan sepak bola Pasar Turi, Surabaya, dua pemuda, satu bertubuh tinggi besar bermata sipit dan satu lagi tinggi kurus berhidung mancung, bertemu dan berbincang serius. Liem mengajak Baswedan bergabung dalam surat kabar nasionalis yang tengah dipimpinnya, Sin Tit Po, dan Baswedan menyambutnya dengan sukacita. Sama-sama berhaluan nasionalis, susunan redaksi di harian Tionghoa berbahasa melayu itu sekarang lebih multietnis dibanding, misalnya, Soeara Oemoem.

Sementara itu, di lapangan hijau berlangsung pertandingan untuk memprotes diskriminasi federasi klub-klub Eropa terhadap para wartawan kulit berwarna. Liem menyerukan pemboikotan pertandingan federasi dan menyelenggarakan pertandingan antar-kesebelasan kulit berwarna. Meski harus menghabiskan dua bulan di penjara, Liem dinilai berhasil. Para penonton lebih suka menyaksikan pertandingan kesebelasan kulit berwarna ketimbang kulit putih. Federasi rugi besar.

Baswedan banyak belajar dari Liem, yang lebih senior dan berpengalaman, baik dalam politik maupun jurnalisme. Namun gaya dan perangai Liem yang tak mengenal kompromi itu acap membuat perjalanan hidupnya tak mulus.

Suatu ketika, akibat kritik Liem yang semakin tajam, lelaki kelahiran Banjarmasin ini pun menjadi buron yang paling dicari oleh tentara pendudukan Jepang. Ia lenyap seperti ditelan bumi. Tiada yang tahu bahwa seorang lelaki bertubuh bongsor, bersarung, dan berkopiah yang menginap di tempat kediaman Baswedan adalah Liem seorang. Untuk sekian lama, Baswedan, yang tidak sekonfrontatif Liem dalam menghadapi Jepang, menyembunyikan pendiri Partai Tionghoa Indonesia itu di rumahnya.

Kejadian demi kejadian besar lantas menimpa bangsa ini. Sidang-sidang BPUPKI, PPKI, bom atom jatuh di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang menyerah, proklamasi 17 Agustus 1945, dan kini Indonesia tidak lagi merebut, melainkan mempertahankan kemerdekaan. Ironis sekali. Inilah awal duka yang panjang buat Liem. Negara yang dicintai dan dibayangkan bak keluarga besar yang “hangat” dengan segenap warga ternyata tak sebersahabat itu. Sidang BPUPKI menolak gagasan asimilasi Indonesierschap Liem.

Hubungan Liem dengan negara boleh jadi terbilang personal. Ia, yang mengharapkan semua orang Tionghoa di sini secara otomatis jadi warga Indonesia, tentunya merasa penolakan ini teramat menusuk. Banyak cerita tentang kekecewaan Liem di kemudian hari, tapi itu semua tak mengurangi bahwa ia—bersama Baswedan dan Soetomo—merupakan teladan antirasisme dan antidiskriminasi yang layak dikenang. Terutama di saat-saat rasisme muncul kembali di dunia politik kontemporer kita saat ini.

Ya, sudah saatnya para elite politik meneladani ketegasan tokoh-tokoh di atas dalam melawan rasisme dan diskriminasi di tanah air tercinta ini. Bukankah keberhasilan sebuah demokrasi juga ditentukan oleh kualitas perlindungan negara terhadap kaum minoritas? 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus