Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Praktik Culas Pejabat Kampus

Kurnia Ramadhana, peneliti dari Indonesia Corruption Watch, mengurai kasus korupsi Rektor Universitas Lampung, Karomani, dan kelemahan sistem seleksi mahasiswa di perguruan tinggi.

30 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ulah Rektor Universitas Lampung, Karomani, telah mencoreng dunia pendidikan tinggi.

  • KPK perlu melacak keterlibatan berbagai pihak dalam kasus ini.

  • Pembenahan dalam pengawasan seleksi masuk perguruan tinggi perlu dilakukan.

Kurnia Ramadhana
Peneliti hukum Indonesia Corruption Watch

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alih-alih mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana dimandatkan undang-undang, Rektor Universitas Lampung, Karomani, justru mencorengnya. Melalui operasi tangkap tangan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meringkus dan menetapkannya sebagai tersangka karena diduga menjadikan momentum penerimaan mahasiswa baru sebagai bancakan korupsi. Tak tanggung-tanggung, saat penangkapan dan penggeledahan, ditemukan uang sebesar Rp 7,5 miliar yang diduga didapatkan Karomani dari para mahasiswa baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada sejumlah hal yang menjadi pekerjaan rumah KPK selama pengusutan perkara korupsi di perguruan tinggi ini. Dalam fase penyidikan, KPK perlu membongkar pihak-pihak yang diduga menjadi pemberi suap lainnya. KPK mengungkapkan bahwa Karomani mendapat uang sebesar Rp 150 juta dari keluarga mahasiswa yang dia bantu. Pada waktu yang sama, KPK juga menyatakan Karomani bersama kroninya mematok harga Rp 100-350 juta untuk satu kursi di Universitas Lampung. Uang Rp 7,5 miliar yang ditemukan KPK juga menguatkan dugaan bahwa ada pihak lain yang turut terlibat dalam kejahatan ini.

Jika selama waktu penahanan KPK tak mampu membongkar keterlibatan pihak lain, pilihannya tinggal satu, yakni menyematkan pasal gratifikasi kepada Karomani. Ini dianggap lebih mudah karena Pasal 12B ayat 1 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengakomodasi mekanisme pembalikan beban pembuktian. Dalam proses persidangan nanti, jika terdakwa tak mampu membuktikan uang Rp 7,5 miliar itu didapatkan dari proses yang halal, dengan sendirinya seluruh penerimaan itu dianggap sebagai suap dan dirampas untuk negara. Hal ini penting agar terdakwa tidak bisa menikmati uang haram itu saat nanti selesai menjalani masa pemidanaan.

KPK perlu pula membuka kemungkinan untuk menerapkan pasal pencucian uang kepada Karomani. Sinyal terjadinya kejahatan tersebut sebenarnya sudah diungkapkan oleh KPK, yakni tatkala tersangka sempat mengubah bentuk penerimaan uang menjadi tabungan deposito dan emas batangan. Patut diingat bahwa tindakan itu besar kemungkinan memenuhi unsur-unsur Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, seperti menempatkan atau mengubah bentuk harta kekayaan yang diduga merupakan hasil kejahatan. Tinggal lagi kemudian pembuktian apakah perbuatan itu dilakukan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta. Undang-undang itu menjadi krusial karena, selain sanksi pemenjaraannya cukup tinggi, bisa memiskinkan pelaku korupsi.

Tidak ada pilihan lain. KPK harus menuntut berat Karomani saat proses persidangan berlangsung. Ada sejumlah argumentasi sebelum tiba pada kesimpulan itu, antara lain dengan mengingat status pelaku sebagai rektor yang semestinya menjadi figur teladan di universitasnya dan substansi kejahatannya berkaitan langsung dengan isu pendidikan. Hal ini penting untuk terus-menerus disampaikan, mengingat rekam jejak KPK dalam menuntut pejabat publik kerap memicu protes masyarakat, salah satunya terhadap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo.

Pada dasarnya, kisah rektor terjaring korupsi bukan hal mengejutkan lagi. Enam tahun lalu, KPK sempat memproses hukum mantan Rektor Universitas Airlangga, Fasichul Lisan, karena diduga terlibat dalam kasus pengadaan alat kesehatan di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Airlangga dengan total kerugian negara sebesar Rp 85 miliar. Perbedaannya, tindakan lancung Fasichul berdampak pada perekonomian negara, sedangkan Karomani menggadaikan masa depan bangsa kepada generasi muda yang korup. Bukan tidak mungkin pula bahwa, akibat perbuatan Karomani, ada sejumlah mahasiswa yang sebenarnya berkompeten dan berintegritas harus tersisih demi memuaskan hasrat kekayaan pejabat tinggi Universitas Lampung tersebut.

Korupsi di sektor pendidikan terbilang sangat mengkhawatirkan. Temuan Indonesia Corruption Watch pada 2021 mengkonfirmasi kesimpulan itu. Sektor yang semestinya steril dari praktik menyimpang tersebut justru menduduki peringkat ketiga dari segi kuantitas kasus dengan jumlah kerugian negara sebesar Rp 58 miliar dan suap mencapai hampir Rp 1 miliar. Karena itu, aksi cepat tanggap mesti dikedepankan oleh pemerintah dengan salah satunya menutup akses korupsi dalam perekrutan mahasiswa baru.

Hal terpenting saat ini yang harus dilakukan adalah mendesak semua perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia untuk membuka secara transparan data pendapatan dan alokasi penggunaan anggaran dari penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri. Sebab, jalur ini dikelola secara otonom oleh universitas yang dipimpin rektor secara langsung. Wajarlah jika masyarakat menaruh curiga dan berprasangka buruk bahwa jalur ini sejak lama telah dijadikan ruang gelap transaksi suap yang mengatasnamakan penerimaan mahasiswa baru. Bahkan, bila perlu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dapat membuat tim khusus dengan mengajak pemangku kepentingan lain, tak terkecuali KPK, mengecek laporan keuangan jalur mandiri semua PTN. Jika ditemukan penyimpangan, baik pada ranah administrasi maupun pidana, dapat secara simultan dilakukan penindakan oleh inspektorat ataupun KPK.

Untuk memperbaiki proses seleksi mahasiswa baru, ada dua hal yang harus diperhatikan oleh setiap universitas. Pertama, penyelenggara harus memastikan adanya kanal pengaduan atas pelanggaran yang terjadi, baik sebelum, selama, maupun setelah seleksi. Hanya, pihak penerima aduan tidak hanya universitas, tapi juga pada level pusat, yakni Kementerian Pendidikan. Hal ini untuk mencegah adanya pihak universitas yang terlibat dan berpotensi rawan konflik kepentingan karena adanya aspek otonom penyelenggara. Selain itu, model penyampaian hasil sesaat setelah dilakukannya tes menjadi penting untuk menutup celah terjadinya ruang transaksi yang berujung pada praktik korupsi.

Karomani harus menjadi pejabat universitas culas terakhir yang tersangkut korupsi di perguruan tinggi. Namun, yakinlah, kalimat itu hanya menjadi angan belaka jika tidak ada perbaikan mendasar yang dipimpin pemerintah dan kesadaran universitas. Bagaimanapun, membersihkan lingkungan pendidikan dari praktik korupsi akan berbanding lurus dengan upaya mencetak generasi muda yang tak culas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus