Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
KPU menerbitkan aturan yang mempermudah terpidana menjadi caleg.
Aturan KPU bertentangan dengan putusan MK.
Tingkat korupsi anggota legislatif cukup tinggi.
Para eks narapidana, termasuk koruptor, boleh bergembira. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah memberi karpet merah bagi mereka untuk maju sebagai calon anggota legislatif (caleg) dalam Pemilihan Umum 2024. Bagi publik, keriaan para mantan terpidana dan koruptor tentu menjadi pertanda buruk. Sulit berharap Dewan Perwakilan Rakyat periode 2024-2029 akan diisi oleh sosok yang bersih, berintegritas, dan antikorupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karpet merah itu adalah Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 dan PKPU Nomor 11/2023 tentang teknis pencalonan anggota legislatif tingkat pusat dan daerah serta calon anggota Dewan Perwakilan Daerah. Pasal 11 ayat 6 PKPU Nomor 10/2023 dan Pasal 18 ayat 2 PKPU Nomor 11/2023 menganulir ketentuan masa tunggu lima tahun bagi mantan narapidana untuk mencalonkan diri sebagai legislator jika mereka mendapat hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua PKPU ini sejatinya bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87 Tahun 2022 dan Putusan MK Nomor 12/2023. Dalam putusan itu, MK membatasi hak bekas terpidana untuk melewati masa jeda lima tahun selepas dari penjara untuk bisa mencalonkan diri sebagai legislator. Jika masih menghormati MK dan taat pada konstitusi, KPU seharusnya jeri untuk menerbitkan aturan yang berlawanan. Tapi, toh, kenyataannya berbeda.
Bukan kali ini saja KPU menerbitkan aturan yang ramah bagi koruptor. Lima tahun lalu, KPU menerbitkan PKPU Nomor 31/2018, yang salah satu pasalnya memperbolehkan eks terpidana kejahatan berat, termasuk korupsi, mencalonkan diri sebagai caleg asalkan mereka mengumumkan statusnya secara terbuka kepada publik.
Saat itu KPU beralasan aturan tersebut terbit sebagai konsekuensi dari putusan Mahkamah Agung atas gugatan uji materi terhadap PKPU Nomor 20/2018. Putusan MA membatalkan pasal yang melarang terpidana kejahatan berat untuk maju dalam kontestasi politik. Saat itu KPU memilih taat pada putusan MA, tapi mengapa kini mereka mengabaikan putusan MK? Melihat fakta ini, sulit bagi publik untuk percaya bahwa KPU memang punya niat menyaring masuknya caleg bermasalah.
Regulasi yang melempangkan jalan bagi eks koruptor untuk menjadi pejabat publik bakal menjadi bumerang bagi KPU hingga DPR dan DPD karena mereka akan makin kehilangan kepercayaan publik. Apalagi tingkat korupsi anggota legislatif cukup tinggi.
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi, dari 1.479 tersangka korupsi pada 2004 hingga 2022, sebanyak 21,5 persen atau 319 orang merupakan legislator tingkat pusat dan daerah. Dengan terbitnya aturan pencalonan anggota legislatif yang longgar, bukan tak mungkin sebagian besar dari mereka bakal melenggang lagi ke gedung Dewan.
Jalan terakhir memang ada di tangan masyarakat yang akan menjadi pemilih. Menjadi hak sekaligus kewajiban kita untuk memilih wakil rakyat yang benar-benar bersih dan saringan awalnya adalah rekam jejak mereka. Dan sudah menjadi kewajiban partai politik untuk menjaga integritas kadernya yang terpilih sebagai anggota legislatif, meski hal ini makin sukar diharapkan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo