Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Bagaimana Teroris Memikat Keluarga

Bagaimana aksi teroris dapat dilakukan oleh satu keluarga di Surabaya dan tindakan tersebut memikat mereka?

6 Juni 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dirga Maulana
Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagaimana aksi teroris dapat dilakukan oleh satu keluarga di Surabaya dan tindakan tersebut memikat mereka? Kisah Bom Bali I juga dilakukan oleh jaringan keluarga yang memudahkan Riduan Islamudin melakukan indoktrinasi paham radikal kepada Amrozi, Ali Ghufron, dan Ali Imron (majalah Tempo, 2018). Ikatan kekeluargaan dapat mempercepat proses radikalisasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Memang proses radikalisasi ini bisa masuk ke mana saja, terutama dalam lingkup keluarga. Benteng terakhir dari percakapan domestik antar-keluarga menjadi rentan ketika kepala keluarga dan sosok ibu juga terpapar virus radikalisme. Korbannya adalah anak yang semestinya mendapat pendidikan agama yang baik dan memahami teks-teks suci dengan pemahaman yang lebih moderat.

Para ideolog terorisme menyasar ikatan keluarga untuk melakukan tindakan teror dan memudahkan mereka melancarkan indoktrinasi sehingga pesan teror yang ingin disampaikan diterima dengan baik. Fenomena satu keluarga menjadi teroris sangat menyulitkan dalam proses deteksi, pemantauan, dan pencegahan.

Mohammed M. Hafez dalam tulisannya, "The Ties that Bind: How Terrorists Exploit Family Bonds", memaparkan bahwa perekrutan dalam hubungan kekeluargaan bisa melalui penggunaan media sosial sebagai alat transmisi ideologi jihadis pada banyak wanita dan menekankan aspek Islamisasi. Ini merupakan cara terbaik untuk menghindari deteksi dari pemerintah. Inilah proses radikalisasi yang jitu (Hafez, 2016).

Ikatan keluarga yang melakukan aksi terorisme di dunia itu antara lain bom di Boston, yang melibatkan Tsarnaev bersaudara; penembakan di koran Charlie Hebdo, yang melibatkan Kouachi bersaudara; penyerangan di Paris, yang melibatkan Abdeslam bersaudara; serta penembakan massal di San Bernardino, yang melibatkan suami-istri Syed Rizwan Farook dan Tashfeen Malik (Hafez, 2016). Pelibatan ikatan keluarga dan pertemanan dapat mengikat mereka dalam komitmen politik radikal yang tinggi sehingga loyalitas terhadap gerakan tak akan sirna.

Sekitar 2000-an, muncul forum Internet jihadi yang melibatkan perempuan secara langsung dengan organisasi ekstremis. Internet membuka kesempatan bagi mereka berinteraksi secara online dan memudahkan proses rekrutmen pada keluarga dan sebagai ruang belajar layaknya pesantren (IPAC, 2017). Modus operandinya bisa melalui diskusi offline di kampus-kampus, baru kemudian bergabung secara online di forum mereka, atau, sebaliknya, bertemu secara online, baru kemudian offline. Proses rekrutmen seperti inilah yang telah menjadi mekanisme di antara mereka untuk mengajak dan melakukan propaganda terhadap calon-calon teroris.

Selain itu, untuk tindak lanjut dari perkenalan secara online, biasanya para ideolog memperkenalkan para perempuan yang terjaring dalam komunitasnya kepada para aktivis teroris untuk melakukan ta'aruf (perkenalan). Jika sudah merasa yakin, mereka akan menikah, baik secara offline maupun online. Dari pernikahan inilah benih-benih radikalisme dibangun dan disiapkan untuk melakukan aksi terorisme. Biasanya kaum perempuan dijadikan penyedia logistik ataupun pengumpul dana untuk aktivitas aksi amaliyah. Dengan begitu, proses mekanisme mereka melangsungkan serangan bisa dilaksanakan.

Proses radikalisasi biasanya mengadopsi cara pandang ekstremis, yang banyak ditolak kebanyakan masyarakat, tapi meligitimasi penggunaan kekerasan sebagai cara untuk perubahan sosial dan politik. Dari proses radikalisasi ini, dibutuhkan sosialisasi ideologi, kekuatan jaringan sosial, dan struktur pendukung yang memungkinkan (Hafez, 2016).

Virus radikal di kalangan keluarga bisa diminimalkan dalam bentuk permainan yang sangat menyenangkan. Permainan ini bisa dimainkan oleh satu keluarga untuk membantu mereka mengenali virus-virus radikalisme. Perkembangan board game for peace menjadi cara alternatif dalam mempromosikan nilai-nilai perdamaian dan toleransi. Permainan ini juga bisa menjadi ajang komunikasi efektif antara kepala keluarga, ibu, dan anak-anak. Sudah saatnya kita menangkis radikalisme dengan bentuk permainan yang menyenangkan agar Indonesia tetap menjadi kiblat perdamaian.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus