Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Bahasa dan Nobel Kesusastraan

7 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Joss Wibisono*

Sebagai pembuka, berikut ini dua dalil.

Pertama, hadiah Nobel Kesusastraan sesungguhnya berkaitan erat dengan bahasa. Mustahil bahasa bisa kita tanggalkan dari karya sastra. Keindahannya tak akan pernah bisa terungkap lewat medium selain bahasa. Pada akhirnya, apa boleh buat, sebuah karya sastra harus diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris agar bisa dibaca, dipahami, dan dinilai untuk bisa memperoleh penghargaan tersebut.

Kedua, sungguh mustahil menyebut satu bahasa lebih indah daripada bahasa lain. Karena itu, hadiah Nobel Kesusastraan—yang biasa diumumkan pada Oktober tiap tahun—dianggap harus menyeluruh ke setiap benua, bukan hanya untuk karya berbahasa kolonial (antara lain Inggris, Prancis, dan Spanyol). Jika lima benua sudah mendapat giliran, kita bisa meninjau anak benua. Di sini langsung terlihat karya sastra kawasan Asia Tenggara selalu saja luput. Dimulai pada 1901, dalam 112 tahun sejarah penghargaan ini, tak seorang pun penulis Asia Tenggara pernah memperoleh kehormatan Nobel Kesusastraan.

Itulah pengamatan jeli Benedict Anderson, guru besar Universitas Cornell di New York, Amerika Serikat. Dalam artikel berjudul "The Unrewarded" (Yang Tak Teranugerahi), yang dimuat New Left Review 80 edisi Maret-April 2013, Indonesianis senior ini dengan jitu menunjuk kelemahan panitia Nobel Kesusastraan di Stockholm, Swedia. Setelah pelbagai wilayah boleh membanggakan sastrawannya, hanya satu wilayah yang terus-terusan ketinggalan. Anderson menyatakan terabaikannya Asia Tenggara jelas merupakan kelemahan sekaligus titik buta panitia Nobel.

Sayang, dalam esai itu, Ben Anderson langsung menukik ke Asia Tenggara. Ia tidak lebih dulu datang dengan dua dalil tadi. Akibatnya, pembaca tak habisnya bertanya-tanya siapa sebenarnya yang memperoleh anugerah sastra paling bergengsi ini: sastrawan atau bahasa yang digunakannya. Jawabannya: hadiah Nobel Kesusastraan memang juga menyangkut bahasa. Dengan begitu, selain untuk seorang sastrawan (prosa atau puisi), hadiah ini jelas juga mewakili bahasa sang penulis.

Para sastrawan Asia sebenarnya sudah cukup awal memperoleh hadiah Nobel Kesusastraan. Tapi, tatkala Rabindranath Tagore memperoleh kehormatan itu pada 1913, India masih merupakan jajahan Inggris. Pada dekade awal, Nobel Kesusastraan hanya diterima oleh sastrawan negara Eropa, sementara Tagore mencurahkan karyanya tidak melulu dalam bahasa Bengali, tapi juga dalam bahasa penjajah Inggris.

Sesudah itu, Asia harus bersabar sampai setengah abad lebih. Baru pada 1968 penulis Jepang, Kawabata Yasunari, mendapat giliran. Sampai sekarang, sudah lima sastrawan Asia yang mendapatkannya. Tiga terakhir adalah novelis Jepang, Oë Kenzaburo (1994); penulis Cina, Gao Xingjian (2000); dan tahun lalu novelis Cina, Mo Yan. Mereka adalah sastrawan Asia Timur. Sastrawan Asia Tenggara jelas terlewatkan. Yang menarik, pada 1973, seolah-olah melangkahi Asia Tenggara, penghargaan Nobel sastra jatuh ke tangan sastrawan Australia, Patrick White.

Dengan konsep "nasionalisasi bahasa", Ben Anderson menjelaskan nasib Asia Tenggara. Dulu, sebagai jajahan, negara-negara Asia Tenggara masih terkait dengan bahasa-bahasa besar Eropa: Vietnam, Kamboja, dan Laos (disebut Indochine) dengan bahasa Prancis; Filipina dengan bahasa Spanyol; Burma, Malaysia, Singapura, dan Brunei dengan bahasa Inggris; dan Indonesia dengan bahasa Belanda; tak lupa Timor Leste dengan bahasa Portugis.

Kemerdekaan berakibat nasionalisasi bahasa. Artinya, terputuslah kaitan dengan bahasa-bahasa Eropa, sehingga makin jauh saja sastra Asia Tenggara dari jangkauan Nobel karena karya yang ditulis dengan bahasa asli harus bergantung pada tersedianya tenaga penerjemah. Negara-negara Asia Tenggara memiliki bahasa nasional sendiri, walaupun tak semua sastrawan berkarya dalam bahasa nasional masing-masing. Masih ada saja sastrawan Malaysia atau Singapura yang menulis dalam bahasa Inggris. Begitu pula penulis Filipina, karena selepas Perang Dunia I, Amerika menggantikan Spanyol di sana dan mengikis habis bahasa itu. Ben Anderson paling bangga dengan Indonesia. Baginya, kita adalah satu-satunya negara Asia Tenggara yang paling berhasil mencapai bahasa nasional dengan penulis-penulis bermutu yang sejak dulu sudah menulis dalam bahasa Indonesia. Anderson juga menunjukkan masalahnya. Nasionalisasi bahasa memang menurunkan gengsi bahasa-bahasa Eropa, tapi di pihak lain Komite Nobel tidak pernah beranjak dari pendiriannya yang kolot dan konservatif. Mereka tetap berpegang pada bahasa-bahasa lama itu, yang dikenal sebagai bahasa kolonial.

Dalam situasi ini, penerjemahan karya sastra kita ke dalam bahasa lain (baca: Inggris) memang tak dapat ditawar-tawar lagi. Yang paling mujur adalah Amerika Latin. Banyaknya penerjemah profesional Spanyol-Inggris menyebabkan paling sedikit lima penulisnya menyabet Nobel. Asia Tenggara tidak punya penerjemah sehebat itu. Demikian Benedict Anderson, yang menyebutkan faktor-faktor nonsastra telah menyebabkan rendahnya mutu terjemahan karya Pramoedya Ananta Toer ke dalam bahasa Inggris. Bahasanya yang khas termasuk humor gelapnya hilang, tak terbaca lagi dalam terjemahan itu. Tetralogi Buru, yang mengangkat Pram dalam nominasi, diterjemahkan oleh seseorang yang, demikian Anderson, "tak memadai" untuk tugas itu. Tentu saja hingga kini kita tak tahu apakah karya Pramoedya tak pernah berhasil menang Nobel karena penerjemahan itu atau karena persaingan yang ketat. Yang jelas memang penerjemahan tersebut tidak representatif terhadap karya Pramoedya yang legendaris itu. Hingga kini, penerjemahan karya sastra Amerika Latin ke dalam bahasa Inggris masih merupakan suri tauladan penerjemahan yang baik.

Upaya yang juga penting adalah melobi Komite Nobel di Stock­holm. Lobi bukan hal baru. Prancis, Inggris, dan Spanyol melakukan lobi kepada Komite untuk sastrawan negara bekas jajahan mereka. Inilah nasib kita sebagai bekas jajahan Belanda. Mereka sendiri belum pernah memperoleh hadiah Nobel; bagaimana kita bisa berharap mereka melobi untuk Indonesia? l

*) Penulis dan peneliti, menetap di Amsterdam

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus