Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Restu Menjarah Pasir Laut

Pembukaan ekspor pasir laut menjadi ancaman serius bagi lingkungan. Eksploitasi akan menenggelamkan pulau-pulau kecil.

30 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Moratorium ekspor pasir laut sudah berlangsung sejak 2003.

  • Penyedotan pasir laut merusak wilayah tangkapan nelayan kecil.

  • Begitu keran ekspor dibuka, pemilik modal akan berduyun-duyun mengajukan IUP.

KEPUTUSAN Presiden Joko Widodo mengizinkan kembali ekspor pasir laut merupakan ancaman serius terhadap ekosistem laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil. Tidak ada alasan mencabut moratorium ekspor pasir laut yang sudah berjalan sejak 2003 ini, selain hanya untuk membuka lebar-lebar eksploitasi komoditas tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jokowi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut membuka kembali keran ekspor pasir laut. Padahal Presiden Megawati Soekarnoputri menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengusahaan Pasir Laut yang menjadi landasan bagi pembuatan Surat Keputusan Bersama Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Kelautan dan Perikanan, serta Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alasan pemerintah melarang ekspor pasir laut ialah untuk mencegah kerusakan lingkungan berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil, khususnya di daerah terluar di Kepulauan Riau akibat penambangan pasir laut. Moratorium itu dikukuhkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lewat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007.

Baca juga: Gurih Bisnis Setelah Dua Dekade

Sebelum moratorium, pasir laut Kepulauan Riau diekspor ke Singapura dan Malaysia untuk reklamasi pantai. Pada saat daratan Singapura meluas dan bestari, kondisi laut Kepulauan Riau memburuk. Terumbu karang di sekitar wilayah penambangan musnah, air laut keruh, dan populasi ikan menyusut. Bahkan, berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, sebanyak 26 pulau kecil hilang karena abrasi pantai yang dipicu penambangan pasir laut.  

Becermin dari berbagai kasus penambangan pasir laut bagi kebutuhan domestik yang masih diizinkan sampai sekarang, sulit menghindari dampak kerusakan lingkungan dari ekspor pasir laut. Apalagi pemerintah belum memiliki instrumen pengawasan yang andal. Sanksi yang ada cenderung bersifat administratif.    

Penyedotan pasir laut juga akan merusak wilayah tangkapan nelayan kecil. Bila dampak ini diabaikan, terjadinya konflik horizontal tinggal menunggu waktu. Contoh kecil, pada 2020, masyarakat pesisir Kecamatan Labuhan Maringgai, Lampung Timur, membakar kapal tambang pasir laut sebagai ekspresi penolakan. Kasus lainnya, juga pada 2020, ialah penambangan pasir laut di perairan Sangkarrang, Makassar, yang merugikan nelayan Pulau Kodingareng. 

Jika tanpa ekspor saja sudah banyak konflik, bisa dibayangkan keadaan setelah ekspor dibuka. Musababnya, kegiatan ekspor merupakan penopang utama bisnis pasir laut. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, saat ini dari 59 izin usaha pertambangan (IUP) penambangan pasir, hanya 12 IUP yang berproduksi karena minimnya permintaan.  

Begitu keran ekspor dibuka, para pemegang IUP yang wilayahnya tersebar di Riau, Bengkulu, Lampung, Kepulauan Riau, Banten, dan Sulawesi Selatan akan aktif berproduksi. Tak hanya itu, investor baru pun akan berduyun-duyun mengajukan IUP baru.  

Argumentasi pembukaan keran ekspor demi kepentingan penerimaan negara dan daerah mudah dipatahkan. Berkaca pada pengalaman 20 tahun lalu, hanya sedikit devisa maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang dinikmati Indonesia gara-gara banyaknya ekspor pasir laut ilegal.

Mengacu pada perkiraan Departemen Perindustrian dan Perdagangan kala itu, saban hari 2 juta meter kubik pasir laut diekspor. Dari jumlah tersebut, yang legal hanya 900 ribu meter kubik atau tidak sampai 50 persen. Akibatnya, negara merugi US$ 330 juta per tahun. 

Pencabutan moratorium ekspor pasir laut sesungguhnya bukan keputusan yang mengejutkan. Angin pencabutan berembus sejak terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja pada 2020 yang mengisyaratkan pemberian izin usaha bagi kegiatan pertambangan pasir laut. Sejak saat itu, berbagai peraturan turunan UU Cipta Kerja lahir, seperti PP Nomor 5/2021 mengenai izin usaha penggalian pasir laut, PP Nomor 85/2021 ihwal tarif PNBP atas pemanfaatan pasir laut, serta PP Nomor 96/2021 yang memasukkan pasir laut ke dalam golongan pertambangan mineral. 

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat ikut memuluskan rencana pencabutan moratorium dengan melemparkan pernyataan perihal perlunya evaluasi aturan ekspor pasir laut. Alasannya, pasir laut menyimpan potensi ekonomi yang besar dan berpeluang mendongkrak PNBP. Celakanya, tak pernah terdengar adanya konsultasi publik mengenai kebijakan ekspor pasir laut selama tiga tahun belakangan. Akhirnya, pada 15 Mei 2023—setahun menjelang Pemilihan Umum 2024—skenario sejak 2020 mencapai ujungnya dengan terbitnya PP Nomor 26/2023.

Bumi lagi-lagi harus kalah demi memenuhi kepentingan segelintir pemilik modal.  

*

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus