Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Editorial Tempo.co
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
---
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
OTORITAS Jasa Keuangan (OJK) kini menjadi satu-satunya penyidik dalam kasus pidana di sektor keuangan. Kewengan OJK yang sangat luas ini dapat mengakibatkan penyelewengan dalam penegakan hukum di sektor finansial jika tak dibarengi dengan pembenahan menyeluruh pada lembaga tersebut.
Disahkan pada 15 Desember 2022, Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, pasal 49 (5) UU PPSK menetapkan penyidik OJK sebagai sebagai satu-satunya penyidik tindak pidana di sektor keuangan. Aturan ini menyebabkan OJK memiliki kewenangan yang amat besar di sektor keuangan: dari regulator, pengawas, hingga sebagai penegak hukum.
Otoritas legal yang bertumpu hanya pada satu lembaga ini sangat berbahaya karena berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan dan praktik korupsi seperti suap dan gratifikasi. Selain itu, aturan baru ini dapat mengakibatkan kekacauan hukum karena bertentangan dengan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana. KUHAP menetapkan polisi sebagai penyidik untuk semua kasus pidana, selain pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberikan kewenangan khusus oleh UU.
Industri keuangan memang sejak lama menghendaki independensi, termasuk dalam hal penegakan hukum. Alasannya, pengaturan sektor finansial yang sangat kompleks sehingga membutuhkan pengawas dan penegak hukum yang khusus. Dalih itu dapat dipahami, apalagi rekam jejak penegakan hukum di Indonesia oleh kejaksaan, kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi belakangan ini begitu buruk.
Walau begitu, mengalihkan kewenangan sebagai penyidik sektor keuangan sepenuhnya hanya kepada OJK juga tak menjamin pengembangan sektor finansial yang lebih sehat dan berpihak kepada kepentingan publik. Lihat saja, lembaga ini sebenarnya sudah mendapatkan mandat sebagai penyidik dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Tapi otoritas tersebut tak pernah dipakai. Selama lebih dari 10 tahun sejak UU tersebut berlaku nyaris tak ada kasus pelanggaran hukum di sektor jasa keuangan yang bermula dari penyidikan OJK yang berakhir di pengadilan.
OJK tak pernah tegas menghukum pelaku industri finansial yang melanggar. Kedekatan lembaga ini dengan pelaku industri keuangan telah menimbulkan bias yang menguntungkan pengusaha.
Kasus yang membelit sejumlah bank mencerminkan kegagalan OJK dalam mengawasi dan menindak pelanggaran oleh pemain besar di industri keuangan. Seperti yang terjadi pada PT Bank Mayapada Tbk, milik anggota Dewan Pertimbangan Presiden Tahir; dan PT Bank KB Bukopin Tbk, yang terafiliasi dengan Aksa Mahmud–ipar Jusuf Kalla. OJK terkesan membiarkan penyelewengan dalam penyaluran kredit hingga pemenuhan kecukupan modal di bank-bank tersebut hingga berlarut-larut.
Lembek menghukum korporasi besar, OJK pun tak mampu mengawasi dan menindak tegas penyelewengan oleh lembaga keuangan yang menghimpun dan mengelola dana publik. Skandal di industri jasa keuangan seperti asuransi Jiwasraya, AJB Bumiputera, dan Asabri contohnya. Dalam kasus-kasus tersebut OJK hanya menjatuhkan sanksi ringan berupa pembinaan kepada para manajer investasi yang melanggar.
Karena itu, penyidik OJK semestinya tetap didampingi penyidik lain. Seperti dalam kasus korupsi, meski Komisi Pemberantasan Korupsi mendapatkan kewenangan khusus, penyidikkan kasus korupsi bisa juga dilakukan oleh pejabat polisi dan jaksa. Pemerintah dan DPR seyogyanya mempertimbangkan hal ini.
Sementara itu, agar aturan baru ini tidak malah merusak industri keuangan, perlu pembenahan serius OJK. Ini mencakup peningkatan kompetensi sebagai penyidik yang handal, bersih, dan berintegritas. OJK juga harus meninggalkan sikap lembaga yang selama ini sangat pro terhadap industri keuangan, khususnya korporasi besar.
Tanpa perbaikan tersebut, kewengangan sebagai penyidik tunggal akan membuat sektor ini menjadi rimba raya yang dikuasai oleh koneksi dan pemodal kuat. Pelaku industri besar yang dekat dengan OJK dapat terus melakukan pelanggaran tanpa takut terbelenggu aturan.