Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
RENCANA Tentara Nasional Indonesia menempatkan perwira aktif di kementerian dan lembaga sipil adalah niat yang berbahaya. Kebijakan ini mengancam supremasi sipil yang diamanatkan konstitusi dan Undang-Undang TNI. Langkah itu juga mengkhianati reformasi TNI yang bertujuan membentuk tentara yang makin profesional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Prinsip supremasi sipil dalam negara demokrasi seharusnya tidak dirusak hanya gara-gara ratusan perwira tinggi dan menengah menganggur. Mengamendemen Undang-Undang TNI untuk memberikan jalan keluar atas penumpukan perwira tersebut amat berlebihan. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sepatutnya menolak keinginan itu, bukan malah memberi angin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, yang ingin merevisi Pasal 47 Undang-Undang TNI, sebaiknya pula berpikir ulang. Pasal yang membatasi keterlibatan perwira aktif di lembaga sipil ini sebetulnya bertujuan menjaga profesionalisme tentara. Perwira TNI hanya boleh menempati jabatan antara lain di Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Kementerian Pertahanan, serta Badan Intelijen Negara. Melonggarkan aturan itu agar perwira TNI bisa bertugas di semua lembaga dan kementerian sama saja kembali ke zaman Orde Baru.
Penempatan personel TNI di lembaga sipil merupakan ide kuno yang berlawanan dengan semangat demokrasi. Panglima TNI seperti ingin membawa tentara mundur ke zaman kegelapan, ketika militer menjalankan fungsi kekaryaannya dengan menempati pos-pos di lembaga sipil. Eksesnya sungguh buruk: tentara akhirnya terlibat pula dalam urusan sosial-politik, bahkan bisnis.
Solusi lain yang digagas pemerintah juga akan menciptakan masalah baru. Presiden Joko Widodo dan Panglima TNI menyatakan bakal menciptakan sekitar 60 jabatan baru untuk menampung sebagian perwira yang menganggur. Berbagai posisi tersebut muncul dari pembentukan badan baru di lingkungan TNI, peningkatan status komando resor militer, dan kenaikan pangkat untuk jabatan tertentu. Sepintas ini merupakan jalan keluar yang bagus. Tapi penambahan posisi itu justru akan membuat struktur TNI makin gemuk dan kian membebani anggaran negara.
Reformasi TNI mengamanatkan agar militer memiliki organisasi yang ramping. Saat penyusunan Undang-Undang TNI bahkan sempat muncul gagasan agar komando teritorial dihapus. Komando teritorial, yang lahir pada masa perang gerilya, mudah disalahgunakan bagi militer untuk masuk ke wilayah sosial-politik. Pemerintah harus menyadari bahwa meningkatkan status komando resor militer berarti melanggengkan komando teritorial yang sejak dulu dipersoalkan.
Penumpukan perwira tak akan terjadi jika sejak awal pemerintah punya kalkulasi yang benar. Sejak reformasi TNI digulirkan dan tentara yang menempati jabatan sipil ditarik ke barak, kebutuhan untuk mengisi pos-pos struktural di tubuh militer semestinya bisa dihitung. Pola promosi pun tidak boleh sembarangan. Kebijakan buruk yang sering dilakukan, seperti mengorbitkan perwira junior secara cepat, perlu dihindari. Langkah ini membuat banyak perwira senior akhirnya tidak kebagian jabatan.
Solusi yang masuk akal tentu saja membenahi perencanaan kebutuhan personel TNI, bukan menciptakan jabatan baru atau mengaryakan perwira pada jabatan sipil. Untuk mengatasi penumpukan perwira sekarang, pemerintah bisa menawarkan pensiun dini atau alih status menjadi aparatur sipil negara. Solusi seperti ini akan melindungi profesionalisme tentara sekaligus menjaga tatanan demokrasi.