Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Editorial Tempo.co
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
---
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
ANCAMAN sanksi Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) tak sepantasnya menjadi pertimbangan dalam menuntut pertanggungjawaban pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) atas pembantaian di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, 1 Oktober lalu. Menerima sanksi FIFA, kalau pun benar terjadi, rasanya lebih terhormat ketimbang tetap menyerahkan nasib persepakbolaan Indonesia di tangan-tangan tak bertanggung jawab.
Beberapa hari terakhir, sejumlah kalangan menyuarakan adanya potensi sanksi FIFA jika seluruh rekomendasi Tim Gabungan Independen Pencari Fakta Peristiwa Stadion Kanjuruhan Malang (TGIPF) dijalankan. Pangkalnya adalah rekomendasi TGIPF agar Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan dan seluruh jajaran Komite Eksekutif PSSI mengundurkan diri.
Disetorkan kepada Presiden Joko Widodo, Jumat, 14 Oktober lalu, laporan hasil investigasi TGIPF juga memuat rekomendasi kepada seluruh pemangku kepentingan PSSI agar mempercepat pelaksanaan kongres atau menggelar Kongres Luar Biasa (KLB). TGIPF menyatakan pemerintah tidak akan memberikan izin pertandingan sepak bola profesional di bawah PSSI sampai adanya perubahan dan kesiapan yang signifikan, khususnya dalam mengelola serta menjalankan kompetisi.
Beberapa politikus, pengurus asosiasi sepak bola tingkat provinsi, hingga manajemen klub menilai pelaksanaan rekomendasi tersebut dianggap sebagai bentuk intervensi pemerintah terhadap PSSI. Mereka mengingatkan intervensi pemerintah pernah menyebabkan pencabutan keanggotaan PSSI oleh FIFA pada akhir Mei 2015. Walhasil tim nasional maupun klub Indonesia dilarang mengikuti kompetisi internasional di bawah naungan FIFA dan Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC).
Ada banyak alasan untuk mengabaikan ancaman tersebut. Pertama, laporan TGIPF telah menguatkan bukti bahwa 132 nyawa yang melayang dan 580 orang luka-luka seusai pertandingan Arema FC versus Persebaya pada 1 Oktober lalu di Kanjuruhan lebih tepat disebut sebagai korban pembantaian, bukan kelalaian. Sepatutnya semua pemangku kepentingan berpikir bahwa sepak bola, bahkan sanksi FIFA sekalipun, tak seharga nyawa.
Laporan TGIPF memang menggambarkan tindakan anggota polisi yang menembakkan gas air mata secara brutal ke tengah lapangan, bahkan tribun penonton, adalah “mesin pembunuh” dalam peristiwa Kanjuruhan. Namun investigasi TGIPF juga mengungkap bahwa “kuburan massal” pada Sabtu malam itu telah digali jauh-jauh hari. Dan pengurus PSSI nyata-nyata adalah salah satu penggali liang kubur itu.
TGIPF menyatakan PSSI tak menyiapkan personel match commissioner sesuai kualifikasi sehingga tak memberikan rekomendasi bahwa infrastruktur Stadion Kanjuruhan tak layak menyelenggarakan pertandingan berisiko tinggi. Otoritas tertinggi sepak bola Indonesia itu juga dinilai tak melakukan pelatihan secara memadai kepada penyelenggara pertandingan tentang regulasi FIFA. Bukan hanya itu. Regulasi PSSI tentang keselamatan dan keamanan hanya mengadopsi 30 persen dari ketentuan FIFA. Isinya pun sarat dengan upaya pengurus untuk dibebaskan dari tanggung jawab atas musibah di pertandingan.
Presiden Joko Widodo harus memastikan laporan TGIPF tersebut tak berakhir menjadi tumpukan dokumen di atas meja. Penegakan hukum atas pembantaian di Kanjuruhan tak boleh berhenti pada enam orang yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka. Sesuai rekomendasi TGIPF, Polri kudu mengembangkan penyelidikannya terhadap semua pihak yang terlibat, mulai dari anggota kepolisian yang memberikan rekomendasi izin keramaian serta menyediakan dan menembakkan gas air mata, sampai dengan PSSI yang tak melakukan pengawasan atas keamanan dan kelancaran pertandingan.
Rekomendasi TGIPF agar kepemimpinan dan kepengurusan PSSI diganti sudah tepat. Penyelidikan kepolisian dalam dugaan pidana hanya upaya hukum untuk memberikan rasa keadilan—yang sebenarnya tak mungkin sepenuhnya diperoleh para korban beserta keluarganya. Di luar itu, ada kebutuhan tak kalah mendesak untuk menjamin persepakbolaan di Indonesia dikelola secara profesional, berintegritas, transparans, akuntabel, dan bebas dari konflik kepentingan di masa mendatang.
Sikap pengurus PSSI yang tak bermoral, sejak awal terus mengelak ikut bertanggung jawab atas pembantaian di Kanjuruhan, sudah cukup untuk menganggap mereka sebagai penghalangnya.