Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAKTO 27 menggusur Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dari ibu kota Negara, Dati I dan Dati II dan melokalisasikannya di ibu kota kecamatan atau desa-desa. Ini merugikan bank pasar dan bank pegawai yang telah ada, serta para nasabahnya. Soalnya, sebagian besar bank pasar dan bank pegawai yang ada, dewasa ini, berlokasi di daerah terlarang menurut aturan lokalisasi Pakto 27 itu. Padahal, bank pasar dan bank pegawai bukan WTS. Karena itu, para nasabahnya tidak mungkin mengikuti BPR-nya ke lokasi baru di ibu kota kecamatan, seperti si hidung belang mengikuti WTS gacoan-nya di lokasi baru pelacuran di pinggiran kota. Hubungan antara BPR dan nasabahnya memang ada persamaannya dengan hubungan WTS dengan langganannya. Keduanya menjual jasa secara komersial. Selain bersaing dalam hal harga atau tarif, BPR dan WTS juga bersaing dalam hal non-harga. Ini menyangkut, antara lain, mutu pelayanan dan hubungan emosional. Seorang konsumen yang sudah merasa puas dengan warung langganannya, sulit pindah ke warung sebelah. Demikian juga hubungan seorang hidung belang dengan WTS langganannya. Namun, karena hubungan antara BPR dengan nasabahnya merupakan hubungan yang berkaitan erat dengan manajemen pembelanjaan usaha maupun pembelanjaan kehidupan ekonomi rumah tangganya, hubungan tersebut jauh lebih intensif dari hubungan si hidung belang dengan WTS gacoan-nya. Untuk memudahkan transaksi seperti itu, nasabah mengharapkan agar lokasi BPR dekat dengan tempat usaha maupun tempat tinggalnya, agar sewaktu-waktu dapat berhubungan dengan lembaga keuangannya itu dengan biaya transaksi yang seminimal mungkin. Seorang hidung belang mungkin bersedia membayar biaya perjalanan ke lokasi baru WTS langganannya di pinggiran kota. Tapi seorang nasabah tidak mungkin mengikuti BPR langganannya yang pindah ke luar kota. Karena itu, kepindahan BPR akan menghilangkan aksesnya pada kredit dan lembaga keuangan. Terputusnya akses pada pelayanan BPR belum tentu dapat digantikan dengan akses pada bank komersial, apalagi pada Lembaga-Lembaga Keuangan Non-Bank (LLKNB), karena kedua lembaga keuangan ini lebih mengutamakan nasabah skala besar. Sementara itu, Bank Rakyat Indonesia, bank yang didirikan oleh Pemerintah untuk melayani kebutuhan keuangan mereka, semakin berorientasi pada kegiatan pelayanan pada golongan menengah ke atas, pada penyaluran kredit program, dan pada kegiatan internasional yang sama sekali jauh dari kebutuhan rakyat kecil. Ditinjau dari segi hukum dan kualitas nasabahnya, BPR melayani nasabah skala kecil, sedangkan bank komersial serta LLKNB melayani nasabah skala menengah dan besar. Dengan perkataan lain segmen pasar BPR berbeda dengan segmen pasar bank komersial dan LLKNB. Ada berbagai alasan kenapa bank komersial dan LLKNB kurang tertarik melayani golongan nasabah skala kecil. Pertama, karena jumlah tabungan atau jumlah kredit per nasabah bagi golongan berpendapatan rendah, kecil. Di lain pihak, biaya administrasi yang dikeluarkan oleh lembaga keuangan untuk melayani mereka tidak banyak berbeda dari biaya yang dikeluarkan untuk melayani nasabah besar. Hampir tidak ada beda antara biaya administrasi yang dikeluarkan oleh BRI untuk mengelola rekening koran Bulog dengan biaya mengelola rekening koran seorang tukang patri pikulan, misalnya. Kedua, pada umumnya, badan usaha skala kecil merupakan usaha perorangan dan ada kalanya bersifat musiman. Tidak ada status hukum maupun alamat tetap badan usaha yang dimiliki oleh tukang patri keliling. Hari ini ia beroperasi di kota. Pada waktu musim pengerjaan sawah, ia kembali ke kampung menjadi buruh tani. Ketiga, badan usaha kecil itu tidak memiliki pembukuan dan administrasi yang teratur sehingga dapat memenuhi persyaratan permohonan kredit dari bank komersial ataupun LLKNB. Hanya beberapa di antara mereka yang dapat memanfaatkan tenaga istrinya sebagai juru buku, manajer, atau tenaga administrasi. Karena tekanan sosial-ekonomi, keuangan badan usaha skala kecil bercampur baur dengan keuangan pribadi pemiliknya. Keempat, pada umumnya, golongan nasabah kecil tidak memiliki modal yang cukup untuk diagunkan, sebagaimana dipersyaratkan oleh bank komersial dan LLKNB. Kalaupun mereka punya kekayaan yang cukup, sebagian besar dari kekayaan yang ada itu, seperti tanah, masih diatur oleh hukum adat. Sebaliknya, bank komersial dan LLKNB hanya menerima agunan kekayaan yang tunduk pada Hukum Dagang, yang bersumber dari hukum Barat. Hingga saat ini belum jelas kedudukan hukum adat dalam Hukum Dagang kita. Karena beroperasi secara non-formal dan menjangkau daerah yang relatif kecil, BPR dapat mengenal nasabahnya secara pribai. Dengan demikian, biaya pengumpulan informasi tentang karakter, kemampuan berusaha, modal maupun korateral nasabah dapat diminimisir. Kontrak perjanjian tidak perlu dilakukan secara formal dan cuktip didasarkan atas dasar kepercayaan, kebiasaan serta nilai moral yang berlaku di kalangan masyarakat itu. Penyelesaian konflik pun jarang sekali menggunakan jalur hukum formal. Rakyat kecil yang merupakan sasaran nasabah BPR berada di seluruh pelosok tanah air. Karena itu, tidak logis untuk melokalisasikan BPR hanya terbatas pada desa-desa hingga ibu kota Kecamatan di luar ibu kota Negara, ibu kota Dati I dan ibu kota Dati II. Siapa yang melayani kebutuhan sumber keuangan bagi rakyat atau pengusaha kecil yang berada di kota-kota besar itu? Jika koperasi Simpan Pinjam belum mampu untuk mengisi kekosongan itu, akan muncul YKAM baru atau pelepas uang untuk melayani kebutuhan mereka. BPR adalah lembaga keuangan yang melayani nasabah kecil. Dengan demikian, jumlah tabungan ataupun jumlah kredit per nasabah BPR juga kecil. Untuk dapat bertahan secara ekonomis BPR memerlukan jumlah nasabah yang cukup besar agar dapat memobilisasikan tabungan dalam jumlah besar dan mengurangi risiko dengan cara mendistribusikan kreditnya pada jumlah nasabah yang banyak pula. Karena tunduk pada hukum the law of big number itu, BPR hanya dapat dikembangkan di daerah yang berpenduduk padat, seperti di Jawa, misalnya. Kegiatan ekonomi masyarakat di luar Jawa yang jarang penduduknya, terpusat pada pasar yang berlangsung secara periodik beberapa hari seminggu. Lokasi pasar itu mungkin ibu kota Dati II ataupun Dati I, di mana tidak boleh ada BPR. Di desa ataupun kecamatan yang jarang penduduknya itu tidak mungkin didirikan BPR. Tanpa adanya akses pengusaha dan rakyat kecil pada sumber keuangan dan lembaga keuangan formal (seperti BPR), tidak akan mungkin untuk mewujudkan delapan jalur pemerataan, sebagai perincian Trilogi Pembangunan Nasional, yang disebut dalam GBHN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo