Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmad Safrudin
Pemerintah melalui Pertamina akan merilis produk bahan bakar minyak (BBM) baru: Pertalite RON 90. Produk yang selama ini dipasok untuk kebutuhan rakyat dengan nama bensin Premium nyatanya tidak berkualitas premium. Apakah ini merupakan periode antara untuk menghapuskan Premium 88? Mengapa pemerintah dan Pertamina terus memasok bensin yang tidak memenuhi persyaratan teknologi kendaraan yang mereka miliki?
Secara historis, pemerintah dan Pertamina cenderung tidak memasok kebutuhan BBM yang sesuai dengan persyaratan teknis teknologi kendaraan. Sebelum 2006 (nasional) atau sebelum 2001 (Jabodetabek), Pertamina memasarkan bensin bertimbel yang tidak memenuhi persyaratan teknis kendaraan. Selain menjadi sumber emisi timbel (Pb), bensin bertimbel itu harmful, racun bagi teknologi kendaraan berstandar Euro yang mulai diadopsi negara-negara Asia Tenggara pada 1997.
Teknologi kendaraan berstandar Euro 2, misalnya, telah dilengkapi dengan catalytic converter yang berfungsi sebagai filter dengan cara mengoksidasi emisi berbahaya yang keluar dari knalpot kendaraan. Catalytic converter juga berfungsi mengendalikan efisiensi BBM yang disemprotkan ke ruang pembakaran mesin dengan cara mengirimkan sinyal kepada electronic computerized unit setelah menganalisis pola emisi yang masuk ke knalpot.
Catalytic converter ini sangat sensitif terhadap logam seperti Pb (timbel) di dalam bensin bertimbel. Pb yang diperuntukkan sebagai metallic octane booster pada bensin menjadi senyawa yang merusak proses oksidasi catalytic converter dan lambat-laun menjadi deposit yang menyumbat catalytic converter. Kerusakan ini mendorong sistem komputer menghentikan operasi kendaraan hingga tidak dapat dijalankan secara normal, kecuali setelah diperbaiki di bengkel.
Juga kemudian diketahui, bisnis pemasokan bensin bertimbel ini ternyata sarat praktek korupsi. Sebagaimana pengakuan pembesar Innospec Corp di hadapan Serious Fraud Office, Inggris, mereka telah menyuap para pejabat di Indonesia untuk melanggengkan bisnis timbel di Indonesia. Mereka juga divonis bersalah oleh pengadilan Colorado pada 2010 karena perbuatannya itu.
Produksi dan pemasaran BBM juga inkonsisten dengan peraturan perundang-undangan. Sekalipun Premium 88 sudah tidak bertimbel, spesifikasinya tidak memenuhi kebutuhan teknologi kendaraan berstandar Euro 2. Tentu saja ini melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dalam penerapannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 141 Tahun 2003 tentang Standar Emisi Kendaraan Tipe Baru (vehicle emission standard): teknologi kendaraan harus memenuhi standar Euro 2 mulai 1 Januari 2007.
Penerapan standar Euro 2 ini menghendaki prasyarat tersedianya BBM yang sesuai dengan engine technology requirement. Jika bensin, spesifikasinya adalah RON minimal 91, benzene maksimal 2,5 persen, aromatic maksimal 40 persen, olefin content maksimal 18 persen, dan sulfur content maksimal 500 ppm. Jika solar, spesifikasinya adalah cetane number minimal 51 dan sulfur content maksimal 500 ppm.
Selama ini, masyarakat pemilik kendaraan bermotor tak punya pilihan. Kendaraan mereka harus diisi dengan bensin dan solar yang spesifikasinya di bawah kebutuhan teknologi kendaraan mereka. Dalam bensin Premium 88, RON-nya hanya 88, dengan benzene lebih dari 5 persen, aromatic lebih dari 50 persen, dan olefin content lebih dari 35 persen. Juga solar reguler 48 hanya memiliki cetane number tidak lebih dari 48 dan sulfur content rata-rata 2.000 ppm.
Kini Pertamina menganggap Pertalite 90, yang mulai dijual, memiliki kualitas lebih baik daripada Premium 88. Namun kenyataannya tetap saja di bawah spesifikasi BBM yang memenuhi persyaratan untuk kendaraan berstandar Euro 2. Sama halnya dengan metallic octane booster timbel, BBM yang spesifikasinya tak sesuai akan mendorong terjadinya misfueling atau kesalahan pengisian BBM. Misfueling juga akan merusak mesin kendaraan. Itu seperti yang terjadi pada 2010 dan 2013, ketika ratusan ribu mobil dan sepeda motor mengalami kerusakan fuel pump, korosi pada busi, dan piston cracking. Belum lagi kerusakan-kerusakan lain yang dilaporkan bengkel tapi luput dari pemberitaan media massa.
Dengan demikian, pemasaran bensin Premium 88, Pertalite 90, dan solar reguler 48 juga bertentangan dengan amanat presiden tentang Program Langit Biru (1996) dan target penurunan emisi rumah kaca 41 persen pada 2020 yang dicanangkan di Kopenhagen (2009). Tidak tersedianya BBM yang spesifikasinya memenuhi kebutuhan teknologi kendaraan berstandar Euro 2 menjadi rintangan bagi pemenuhan target penurunan emisi sektor transportasi ini.
Menurut kacamata perniagaan, pemasaran BBM yang sedemikian ini adalah pelanggaran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen: konsumen kendaraan bermotor tidak memperoleh jaminan pasokan BBM yang memiliki spesifikasi sesuai dengan vehicle engine technology requirement. Padahal konsumen dan pabrikan kendaraan dihadapkan pada regulasi yang sedemikian ketat harus menerapkan standar Euro 2.
Pemerintah dan Pertamina juga tidak membuat notifikasi yang menyatakan spesifikasi BBM yang dipasarkan (bensin Premium 88 dan solar reguler 48) tidak memenuhi persyaratan untuk teknologi kendaraan berstandar Euro 2. Hal ini menyesatkan dan bertendensi mengelabui konsumen. Tentu saja itu berimplikasi pada perbuatan melawan hukum. Pertama, karena merugikan konsumen atas kerusakan kendaraan yang diderita dan biaya perbaikannya. Kedua, terhalang-halanginya usaha pemilik dan pabrikan kendaraan dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan demi memenuhi target penurunan emisi.
Inkonsistensi dan penyesatan ini dibuat secara sistematis dan terkesan legal. Lihatlah Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Nomor 3674K/24/DJM/2006 tentang Spesifikasi Bensin dan Nomor 3675K/24/DJM/2006 tentang Spesifikasi Solar, yang masih memaksakan adanya pasokan BBM dengan spesifikasi di bawah kebutuhan teknologi kendaraan. Jika demikian, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi memimpin pembangkangan atas peraturan perundang-undangan dan amanat Presiden RI sebagai disebutkan di atas.
Inkonsistensi dan penyesatan di atas juga berbuah pada terpuruknya industri otomotif nasional di pasar internasional, terutama di Asia Tenggara. Tidak terpenuhinya spesifikasi BBM yang sesuai dengan kebutuhan teknologi kendaraan ini menjadi kendala industri otomotif dalam mengembangkan engine technology yang diminati pasar. Maka standar kendaraan di Indonesia tertinggal jauh di belakang Thailand, Malaysia, dan Vietnam, yang telah mengadopsi standar Euro 4 sejak 2012.
Sebagai pasar otomotif terbesar di Asia Tenggara, Indonesia bukan lagi market leader, melainkan follower sejak 2002. Pangsa pasar Indonesia nomor tiga, setelah Thailand dan Malaysia—kadang-kadang saja menjadi runner-up. Ini terjadi karena Indonesia baru mengadopsi standar Euro 2 pada 2007, sementara Thailand dan Malaysia masing-masing telah mengadopsinya sejak 1997 dan 2000.
Tak ada salahnya kita belajar dari pengalaman. Hanya dengan menambah 1 octane number dari rencana RON 90, yang dipasarkan adalah bensin RON 91. Keputusan ini, selain menghindari penyesatan dan perbuatan melawan hukum, akan mengurangi instabilitas ekonomi dengan memberikan ruang bagi peningkatan daya saing industri otomotif di pasar internasional. l
Direktur Eksekutif KPBB dan founder pada The Thamrin School for Climate and Environment
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo