Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Bagong Suyanto
Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dibanding pada 2017, arus mudik tahun ini diprediksi naik sekitar 10–15 persen. Meski tidak ada angka yang pasti berapa nantinya jumlah penduduk yang bakal kembali ke kota setelah Lebaran, diperkirakan puluhan ribu atau bahkan seratus ribu lebih penduduk desa bakal menyerbu berbagai kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Bandung. Tahun lalu, penduduk desa yang masuk ke Jakarta saja dilaporkan minimal 70 ribu orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sebagai megapolitan, kota seperti Jakarta dan Surabaya telah berkembang menjadi kawasan raksasa yang menghubungkan kota-kota jauh di sekitarnya. McGee, pakar perkotaan dari British Colombia University, menyatakan, di Indonesia sejumlah kota besar, seperti Jakarta-Bandung, Yogyakarta-Semarang, dan Surabaya-Malang, telah berkembang menjadi kawasan mega-urban atau extended metropolitan region. Artinya, semua kota itu adalah kawasan perkotaan yang amat luas dengan jumlah penduduk besar, melebihi ukuran metropolitan.
Bagi megapolitan, arus balik pasca-Lebaran adalah masa kemampuan dan daya tahan kota akan diuji. Di masa normal saja megapolitan biasanya tidak mampu berbuat banyak dalam menghadapi dan menyelesaikan berbagai masalah perkotaan, seperti banjir dan kemacetan lalu lintas. Apa yang terjadi ketika setiap tahun kawasan megapolitan terus diserbu pendatang?
Arus balik para migran yang menyerbu kota bersama dengan tetangga dan sanak-kerabatnya sudah barang tentu akan menjadi beban baru bagi kota besar. Bagi megapolitan, beban itu bukan saja masalah-masalah internal akibat pertumbuhan penduduk atau pengaturan tata ruang dan penyediaan permukiman, melainkan juga beban akibat kesenjangan antarwilayah yang makin lebar.
Apa yang terjadi ketika kota-kota besar tumbuh makin gigantis dan gemerlap tapi sarana hiburan dan fasilitas berbelanja di wilayah pedesaan tak pernah membaik? Selisih penghasilan yang lebar antara bekerja di kota dan desa menyebabkan animo masyarakat desa untuk mengadu nasib di kota besar sangat tinggi. Jadi, bisa dipahami jika setiap kali terjadi arus mudik, arus balik yang terjadi selalu jauh lebih besar.
Sebetulnya, sepanjang pemerintah kota mampu menampung dan memberi jaminan lapangan kerja dan fasilitas publik, tidak masalah seberapa banyak migran yang datang. Tapi lain soal jika kemampuan dan daya dukung kota terhadap para pendatang sudah melampaui titik jenuh. Secara garis besar, akibat arus balik yang berlebihan (over urbanization), beban yang mesti ditanggung kota besar ada tiga hal.
Pertama, kota-kota besar cenderung akan mengalami tahap anti-klimaks karena tak kuat menanggung beban migran. Kota pelan-pelan berubah menjadi kumuh, tidak aman, dan tidak nyaman. Kedua, akibat ketidakmampuan kota menyediakan lapangan kerja bagi para migran, perkembangan sektor informal kota dan sektor ekonomi bayangan akan menjadi-jadi dan tak terkendali. Sudah lazim terjadi, ketika sektor informal makin berkembang, sering kali mereka akan menempati lahan-lahan kosong tanpa izin, bahkan merampas sebagian zona yang semestinya menjadi milik publik.
Ketiga, akibat harga tanah yang makin mahal dan kecilnya kemungkinan kaum migran memperoleh rumah yang layak, akan muncul kantong-kantong kemiskinan dan kawasan permukiman kumuh yang rawan secara sosial, kriminal, maupun politik. Di balik gedung bertingkat, di sepanjang pinggir kali dan rel kereta, dengan mudah bisa dilihat permukiman yang kumuh dan bahkan sebagian tergolong liar.
Membatasi arus balik pasca-Lebaran mungkin bisa dilakukan melalui operasi yustisi dan razia kartu tanda penduduk. Tapi akan lebih efektif jika pemerintah berupaya memperbaiki kesenjangan desa-kota. Membangun desa, meningkatkan perekonomian masyarakat lokal, dan meningkatkan posisi tawar masyarakat desa adalah kunci untuk memastikan migrasi setelah Lebaran dapat dikurangi.