Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Mahkamah Agung akhirnya membebaskan mantan Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan. Sejak awal, jerat hukum untuk Karen terkesan dipaksakan. Sudah selayaknya Mahkamah mengoreksi kasus ini dengan melepaskan terdakwa dari tuntutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kejaksaan sebelumnya menjerat Karen karena adanya kerugian Pertamina sebesar Rp 568 miliar dalam investasi di Blok Basker Manta Gummy (BMG), Australia. Dakwaan ini lemah lantaran dalam persidangan tidak terbukti ada penyimpangan ataupun kongkalikong dalam investasi lewat akuisisi 10 persen saham Roc Oil Company Ltd oleh Pertamina tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Divonis 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar di pengadilan tingkat pertama, Karen kemudian mengajukan permohonan banding. Vonis di pengadilan tingkat kedua ini menguatkan putusan sebelumnya. Barulah di tingkat kasasi, nasib terdakwa berubah. Dalam putusannya, majelis kasasi menilai tindakan Karen dalam investasi itu bukan pidana, melainkan business judgement rule.
Majelis kasasi berpendapat keputusan direksi dalam kegiatan perusahaan tak dapat diganggu gugat oleh siapa pun. Meski keputusan itu berujung kerugian, hal ini merupakan risiko bisnis. Hakim agung yang menangani kasus ini juga menyatakan bahwa karakteristik investasi Pertamina memang sulit diprediksi.
Desember lalu, Mahkamah Agung juga membebaskan mantan Direktur Keuangan PT Pertamina, Frederick S.T. Siahaan, dalam perkara yang sama. Pertimbangannya pun sama seperti kasus Karen. Majelis kasasi menyatakan terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang dituduhkan, tapi perbuatan itu bukanlah pidana.
Putusan kasasi Karen sejalan pula dengan pandangan hakim Anwar dalam sidang pengadilan tingkat pertama. Sang hakim mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) dengan menyatakan bahwa Karen tidak bersalah dan harus dibebaskan dari dakwaan melakukan korupsi. Hakim Anwar menilai langkah Pertamina mengakuisisi Blok BMG di Australia merupakan keputusan bisnis dan telah mendapat persetujuan direksi.
Investasi di sektor minyak dan gas bumi penuh risiko. Ketika dibeli Pertamina, sumur minyak di Blok BMG diperkirakan bisa menghasilkan minimal 812 barel minyak mentah per hari. Nyatanya, setelah berjalan beberapa bulan, realisasi produksi Blok BMG mentok hanya 252 barel. Tiga tahun kemudian, Pertaminamelalui anak usahanya, PT Pertamina Hulu Energibahkan terpaksa melepas semua kepemilikan sahamnya di sana.
Adapun soal kerugian Rp 568 miliar seharusnya tak serta-merta dianggap sebagai kerugian keuangan negara seperti yang dituduhkan jaksa. Pengertian kerugian badan usaha milik negara karena keputusan bisnis jelas berbeda dengan kerugian negara karena perbuatan korupsi. Apalagi jaksa juga tidak bisa membuktikan bahwa terdakwa menikmati uang tersebut.
Putusan MA seharusnya menjadi pelajaran penting bagi jaksa dan hakim dalam menangani perkara serupa. Penegak hukum semestinya tidak mengadili sebuah kebijakan atau keputusan bisnis.