Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada suatu hari sekitar tahun 1650, Amangkurat I, yang bertakhta di Mataram, menerima sebuah persembahan yang unik: seekor bekisar, unggas keturunan ayam hutan. Yang mempersembahkan pamannya sendiri, Pangeran Surabaya.
Bekisar ini bukan hanya cantik warna bulunya. Sebagaimana diuraikan Pangeran Surabaya di depan Raja, menurut catatan sejarah Babad Tanah Jawi,
...bakisar puniki
pawèstri asalé kina
sampun sawulan laminé
lami-lami dados lanang
warnanipun apelag
dhatêng sagêd akaluruk
mangké konjuka sang nata
Unggas elok yang dipeliharanya itu, sembah Pangeran Surabaya dengan bangga, juga istimewa: dalam waktu sebulan ia berubah dari betina jadi jantan, dan pandai berkokok. Sang Pangeran merasa patut mempersembahkannya kepada Raja.
Amangkurat mengucapkan terima kasih. "Saya percaya akan rasa sayang Paman," katanya. Tapi ia berdusta. Dalam hati ia marah. Ia melihat persembahan itu sebuah isyarat jahat.
Amangkurat, raja yang bengis, adalah penguasa yang graita landhêp pasêmon, orang yang dengan tajam menilik tiap isyarat dan sindiran. Kita akan menyebutnya paranoia.
Paranoia memang lazim berkembang ketika seorang penguasa makin terisolasi di singgasananya, terutama ketika takhta yang didudukinya berimpit dengan kekerasan—sebagaimana kisah kekuasaan Mataram.
Maka esoknya Amangkurat berkata kepada para menterinya: ia curiga. Ia anggap pamannya menyindirnya agar turun takhta, untuk digantikan putra mahkota, yang juga cucu Pangeran Surabaya.
Ketika seseorang menyampaikan kecurigaan Raja kepadanya, Pangeran Surabaya gemetar ketakutan. Didampingi istrinya, ia tergopoh-gopoh menghadap. Mereka menyatakan bersedia dihukum mati jika Raja menganggap bekisar itu hanya pasemon....
Pasemon: ungkapan semu, yang mengatakan sesuatu tapi sebenarnya lain. Tapi tentu saja ungkapan itu hanya berfungsi bila ia membentuk makna.
Dalam cerita kita, Amangkurat mengampuni pamannya. Tapi bagaimanapun ia membentuk makna yang sama sekali berbeda dari yang ditawarkan Pangeran Surabaya. Raja secara sewenang-wenang menganggap si bekisar bukan hewan yang unik, melainkan sebuah tanda. Secara sewenang-wenang pula ia menafsirkan tanda itu sebagai oposisi politik.
Memberi makna sebuah tanda memang umumnya dilakukan secara arbitrer, "sewenang-wenang". Sebuah tanda bisa persis sama dengan yang ditandai: foto wajah kita di KTP menandai wajah kita. Atau sebuah tanda menjadi index dalam pengertian semiotika Pierce: menampilkan sesuatu yang lazim mewakili sebuah pengertian, seperti asap menandai api, jejak telapak menandai kaki. Atau, ia merupakan lambang: sesuatu yang maknanya sepenuhnya terbentuk dan dipaÂhami dalam proses kebudayaan, seperti bendera merah-putih, yang praktis tak mirip dengan benda apa pun, kecuali warnanya, namun ada makna tertentu yang diberikan kepadanya.
Tapi bekisar itu? Apa yang membuatnya jadi tanda—tanda oposisi? Tak ada. Kelak, selama pemerintahannya yang penuh konflik, Amangkurat akan disindir dengan perumpamaan "kalpika" (cincin) yang terlalu kecil atau "kenaka" (kuku) yang patah. Tapi bekisar tak ada hubungannya dengan imaji negatif seperti itu. Tidak dari bentuknya. Tidak pula dari transformasinya dari betina jadi jantan; dalam dunia misoginis Amangkurat, perubahan itu tak akan tampak sebagai penghinaan. Bekisar itu bukan juga nama hewan yang bunyi akhir suku katanya bisa jadi wangsalan, semacam pantun yang menyindir—sebuah permainan verbal Jawa yang secara berliku-liku mengasosiasikan, misalnya, pengertian "tumben" (dalam bahasa Jawa, kadingarèn) dengan pohon nyiur gunung (dalam bahasa Jawa, arèn).
Dengan kata lain, Amangkurat membentuk makna dengan kesewenang-wenangan yang ekstrem. Ia ciptakan sesuatu yang gawat dari yang praktis bukan apa-apa.
Dari masa ke masa, orang memang merasa perlu menghindar dari ekspresi verbal. Kata bisa berbahaya. Mungkin karena bahasa dirasakan lebih terbatas maknanya ketimbang dunia di luarnya. Dalam keadaan itu, sebuah ungkapan bisa terjebak dalam makna yang terbatas pula. Maka ungkapan pikiran dan perasaan pun dinyatakan dengan benda-benda atau sikap tubuh. Makna terbentuk secara "intersemiotik", yang verbal dan nonverbal susup-menyusupi.
Sebenarnya itu satu bentuk perlawanan sosial terhadap kekuasaan yang antisosial. Ketika ia membentuk sendirian sebuah makna dari nol, dengan membuat seekor bekisar yang unik jadi tanda yang mengancam, Amangkurat menganggap mutlak kekuasaannya atas apa pun, juga atas makna. Ia mirip Tuhan.
Tak mengherankan bila akhirnya, dengan alasan yang berbeda, ia bunuh Pangeran Surabaya beserta seluruh keluarganya. Seperti Tuhan, ia jarang berunding. Tapi cerita belum berhenti. Di hadapan itu manusia, bersama-sama, bisa memperluas makna.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo