Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARA seniman bilang, dunia ini panggung sandiwara. Sebentar begini, sebentar begitu, aneh dan unik. Apalagi di panggung politik, yang lakon sandiwaranya paling mudah berubah setiap saat. Tentang Habibie, misalnya. Kemampuannya sebagai presiden sudah lama diprihatinkan banyak orang. Karena itu, ada tuntutan agar ia segera mundur. Tanyalah mahasiswa yang suka berdemo di jalan, yang hobi meneriakkan agar Habibie mundur sebagai presiden.
Tapi, kini, yang terjadi sebaliknya. Banyak orang, bahkan pimpinan partai-partai politik dan pengamat hukum ketatanegaraan, sepakat untuk membulatkan tekad agar Habibie tidak mundur sebagai presiden. Jangan-jangan akan ada demo dengan poster besar: "Habibie jangan turun." Poster itu—kalau ada—kata-katanya mesti ditambah: "Habibie, jangan turun sekarang. Selesaikan tugasmu sampai Sidang Umum MPR mendatang." Kenapa begitu? Ini waktu yang sangat tidak tepat untuk mengganti presiden. Kalau itu tiga atau empat bulan lalu, masih mungkin dengan memanggil Sidang Istimewa MPR, baik untuk menurunkan Habibie maupun memilih penggantinya. Sekarang tidak ada waktu lagi. Dua pekan lagi, MPR baru akan terbentuk, dan itu berarti MPR yang sekarang ini tinggal berkemas-kemas untuk meninggalkan Senayan. Tak mungkin ada persiapan untuk ganti-mengganti presiden.
Dari mana munculnya isu Habibie akan mundur? Ada banyak krisis belakangan ini yang bisa menjadi jalan untuk Habibie mundur, baik secara sukarela maupun dipaksa-paksa. Selain soal Baligate, krisis yang paling membuat Habibie pusing tentu saja perkembangan di Timor Timur. Mungkin dia tak membayangkan pro-otonomi bakal kalah. Yang lebih tak dibayangkan lagi adalah akibat kekalahan pro-otonomi itu, Timor Timur jadi porak-poranda. Polisi tak berdaya menjinakkan milisi pro-otonomi untuk membumihanguskan Tim-Tim. Keadaan darurat militer diberlakukan. Itu pun tak membuat permasalahan jadi lebih ringan. Justru darurat militer ini membuat Indonesia jadi bahan cercaan luar negeri karena "kedekatan" milisi pro-otonomi dengan militer.
Pada saat menanggulangi krisis itu, Habibie diisukan telah dikudeta. Siapa yang mengekup? Siapa lagi kalau bukan militer, begitu kata isu. Yang dijadikan "tanda-tanda" adalah ketika Habibie menerima (atau didatangi?) para jenderal, dari Menko Polkam, Menhankam, Mendagri, sampai para kepala staf angkatan, pada 8 September lalu. Untunglah, Jenderal Wiranto membantah semua itu. Tapi pertanyaan tetap muncul di tengah masyarakat, apakah pertemuan Habibie setiap petang hari dengan para jenderal di Istana Merdeka adalah murni memonitor perkembangan di Tim-Tim atau justru Habibie yang dimonitor? Artinya, ada ketidakjelasan perihal siapa yang sebenarnya berkuasa saat ini?
Pertanyaan begini sulit untuk dijawab dan kalaupun memang ada jawabannya, sulit dipercaya. Tapi, apa pun yang terjadi, seberapa pun krisis yang menghantam Indonesia saat ini, Habibie harus tetap menjadi presiden, sampai ia mempertanggungjawabkan jabatannya itu pada SU MPR nanti. Ini agar roda pemerintahan tetap jalan dan legitimasi konstitusionalnya tidak bermasalah. Dan di SU MPR itulah, Habibie sebaiknya menyatakan mundur dan tidak mau dicalonkan sebagai presiden. Bila itu dilakukan, sejarah akan lebih mengenang Habibie sebagai presiden transisi yang mengantar bangsa ini ke gerbang demokrasi di penghujung milenium ketimbang berbagai "dosa"-nya yang, belakangan ini, ramai menjadi kepala berita media massa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo