Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Belum Tentu Salah Kaprah

Natal P. Sitanggang*

2 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BARANGKALI kita pernah mendengar orang sesumbar mempertanyakan konstruksi memasak nasi, menggali sumur, dan bentuk lain yang dipandang senasib. Pertanyaannya kira-kira begini: “Nasi kok dimasak?” atau “Sumur kok digali?” Pertanyaan seperti itu tampaknya bukan hanya sesumbar. Dalam beberapa buku tentang kebahasaan, bentuk itu sungguh mendapat perhatian dari beberapa munsyi. Kridalaksana (2009) mengistilahkan gejala itu sebagai rura basa. Dalam buku persembahan untuk memperingati ulang tahunnya yang ke-75, salah satu artikel juga membicarakan soal rura basa seperti di atas.

Dari rujukannya kepada sejumlah pendapat disebutkan bahwa konstruksi seperti itu merupakan bentuk bahasa yang telanjur rusak atau tidak benar sehingga tidak bisa diperbaiki lagi. Pendapat seperti itu tidak serta-merta dapat disalahkan, walaupun sebenarnya tidak serta-merta juga harus diterima kebenarannya.

Dari sudut pandang pragmatik, tentu penjelasannya bisa berbeda. Perbedaan itu pulalah yang menjadi salah satu kekuatan pragmatik untuk menjawab bentuk yang dianggap anomali, termasuk rura basa seperti itu. Salah satu kekuatan pragmatik adalah pendasaran makna bahasa atas konteks, termasuk perilaku masyarakat penutur bahasa. Untuk memperkuat penjelasan pragmatik ini, aksioma yang menyatakan bahasa cenderung berevolusi dari satu bentuk ke arah bentuk yang lebih sederhana dapat dijadikan sebagai resep tambahan dalam menjelaskan rura basa itu. Setidaknya ada dua alat gali pragmatik yang dapat dijadikan kerangka pikir untuk menjawab sisi lain dari rura basa tersebut, yaitu prinsip kerja sama dan eksplikatur.


 

Pertanyaannya kira-kira begini: “Nasi kok dimasak?” atau “Sumur kok digali?”

 


 

Herbert Paul Grice (1957) mengajukan konsep prinsip kerja sama sebagai satu postulasi pikir untuk menguak misteri makna yang tersirat. Inilah yang diadopsi dalam kajian pragmatik. Disebut sebagai kerja sama karena partisipan dalam berkomunikasi dipandang cenderung sudah berada dalam satu bingkai topik sehingga partisipan tutur sudah saling mengetahui atau tahu sama tahu tentang bagian tertentu dalam ujaran meskipun konsep itu tidak hadir dalam unit-unit gramatikal. Di luar prinsip itu, kemungkinan yang akan terjadi adalah salah paham. Paradigma atas prinsip itulah sebenarnya yang terjadi dalam bentuk goodby atau bye (saja) yang dapat berterima sebagai sebuah salam dalam bahasa Inggris. Campbell (2004) dalam kajian linguistik historis melaporkan bahwa bentuk itu sebenarnya berasal dari bentuk yang lebih panjang, yakni god be with you (atau ye).

Fenomena seperti itu jugalah yang terjadi pada banyak bentuk dalam bahasa Indonesia. Sebagai contoh, pada tataran leksikal, kata minum berasal dari menginum. Pada tataran gramatikal, kata memberikan berasal dari memberi akan, misalnya, atau makanan berasal dari sesuatu yang dapat dimakan. Pada tataran sintaksis, misalnya, frasa selendang biru berasal dari selendang berwarna biru atau rumah makan berasal dari rumah tempat untuk menjual dan membeli makanan.

Dari contoh-contoh di atas tampak bahwa ada bagian yang hilang dari bentuk asalnya. Apabila dikembalikan lagi ke bentuk asalnya, unsur yang hilang tersebutlah yang diistilahkan sebagai eksplikatur (Kearns, 2000). Contoh frasa rumah makan mempunyai unsur eksplikatur sebagaimana pada eksplikasi asalnya, yaitu tempat menjual dan membeli. Proses menghadirkan kembali eksplikatur itu sebenarnya merupakan teknik menelusuri misteri bentuk memasak nasi dan menggali sumur di atas.

Griffiths (2006) menyebutkan bahwa eksplikatur merupakan pemanfaatan informasi kontekstual dan pengetahuan dunia (world knowledge) untuk menjelaskan sesuatu buat memahami bentuk yang dianggap sebagai anomali (termasuk rura basa). Eksplikatur menjadi konteks yang berfungsi mempertegas keutuhan gramatikal sebuah bentuk.

Lantas bagaimana dengan bentuk memasak nasi atau menggali sumur ? Penelusurannya relatif mirip dengan cara mengeksplikasi contoh-contoh tersebut, yaitu menghadirkan kembali mata rantai yang hilang melalui parafrasa semantik untuk mempertegas keutuhan gramatikal di antara unsur yang ada.

Apabila konstruksi rumah makan dieksplikasikan sedemikian, memasak nasi dapat dieksplikasikan menjadi “perbuatan memasak beras untuk dijadikan nasi”, sedangkan menggali sumur menjadi “perbuatan menggali tanah untuk dijadikan sumur”. Tampak pola keduanya mirip. Secara umum hilangnya unsur eksplikatur itu dipengaruhi prinsip kerja sama. Selanjutnya, bentuk yang tertinggal mengalami asimilasi natural menjadi bentuk yang gramatikal, bahkan ada yang leksikal.

*) PENELITI DI KANTOR BAHASA JAMBI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus