Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yonvitner
Kepala Pusat Studi Bencana IPB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kejadian bencana gempa di Lombok, yang berdampak pada evakuasi lebih dari 8.000 wisatawan dari Gili Meno, Gili Trawangan, dan Gili Air, harus menjadi catatan tersendiri dalam sejarah kelautan. Membangkitkan ekonomi kelautan berbasis pesisir dan pulau-pulau kecil ternyata tidak mudah. Bila kita tidak mengintegrasikan konsep kebencanaan dalam investasi tersebut, sulit berbicara soal investasi yang berkelanjutan. Apalagi kemampuan pemulihan dan bangkit juga tidak cepat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tren pertumbuhan ekonomi kelautan dalam tiga tahun terakhir relatif stabil dengan kontribusi di bawah 10 persen. Proporsi kontribusi sektor minyak dan gas masih dominan dibanding perikanan, industri kapal, dan ekonomi kelautan lain. Dalam kondisi normal, kontribusi dapat dipacu dengan kebijakan yang atraktif, misalnya keringanan pajak dan regulasi lain. Namun keadaan ini akan terdistorsi ketika variabel bencana dimasukkan. Dengan kondisi bangsa Indonesia yang hampir setiap waktu mengalami bencana, mau tidak mau investasi kelautan di pesisir dan pulau kecil harus berbasis bencana. Saya berpandangan paling tidak ada empat langkah strategis yang perlu dilakukan.
Pertama, reformasi kelembagaan pengelolaan bencana. Ini sangat perlu dan mendesak untuk memastikan investasi berjalan baik. Dengan masifnya kejadian bencana, maka penguatan kelembagaannya harus ditingkatkan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana harus menjadi unit koordinatif setingkat kementerian. Pengelolaan bencana tidak hanya terjadi saat bencana, tapi juga sebelum dan sesudah bencana terjadi, termasuk pemulihan sosial. Maka perlu dipikirkan kelembagaan kebencanaan setingkat menteri yang memiliki kemampuan manajemen dan teknis yang lebih luas.
Bencana tidak linier karena memiliki kompleksitas dengan berbagai dimensinya. Indonesia negara yang tinggi potensi bencana dan menjadi kiblat dunia dalam belajar mengenai pengendalian bencana. Transformasi kelembagaan pengelolaan kebencanaan penting agar investasi maritim dapat segera beradaptasi dengan baik dari risiko bencana. Selanjutnya, peran kelembagaan pengelolaan pesisir juga harus diperkuat sehingga mampu mendorong ekonomi berbasis pesisir dan pulau kecil.
Kedua, penempatan risiko bencana pada arus utama pembangunan ekonomi maritim. Lebih dari 25 kota besar Indonesia berada dekat pantai atau pesisir. Semua wilayah ini rentan dan berisiko tinggi dari pengaruh tsunami serta gelombang pasang. Perencanaan pembangunannya harus selalu menyertakan pertimbangan risiko kebencanaan.
Perencanaan tata ruang tidak sekadar menuliskan informasi potensi bencana, tapi menjadikan bencana sebagai pertimbangan pengalokasian ruang. Daerah yang berisiko tinggi semestinya tidak menjadi area pertumbuhan utama. Daerah yang berisiko rendah dapat didorong sebagai pusat aktivitas masyarakat. Ketika pembangunan di daerah berisiko tinggi dianggap penting, maka perlu dirancang sistem yang mampu beradaptasi dalam menghadapi risiko tersebut.
Ketiga, mempercepat akselerasi pemangku kepentingan di kawasan pesisir dan laut yang potensial bencana. Akselerasi adalah upaya membangun kesepahaman dengan semua pihak bahwa risiko bencana menjadi tanggung jawab bersama. Tidak boleh ada yang tidak mengerti rencana, tindakan, dan aksinya di kawasan rawan bencana. Kesadaran komunal menjadi penting untuk menciptakan masyarakat yang peduli dan sadar bencana.
Keempat, kemauan mengadaptasi dan menjiwai bencana sebagai bagian dari kehidupan. Penting bagi kita untuk menjiwai bahwa setiap langkah, aktivitas, dan rencana kita mengandung risiko bencana. Tidak selalu kita mampu menghindari. Tapi, ketika kita mengenal dengan baik risiko dan bencana yang akan muncul, maka kita akan mudah beradaptasi sehingga dampak bencana bisa diminimalkan.