Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Bencana Enam Ruas Tol

Jika kita membuka salah satu aplikasi yang berfungsi mengukur tingkat pencemaran udara, kita akan mendapati bahwa Jakarta kerap berada di peringkat tiga besar, yaitu "Tidak Sehat".

24 Juli 2018 | 07.52 WIB

Polusi udara di Jakarta dengan tingkat pencemaran yang berbahaya. Pada tanggal 16 Mei 2018, Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno mengatakan Jakarta berada di posisi pertama dalam indeks kualitas udara terburuk di dunia. Pemerintah juga menerapkan pembatasan lalu lintas dalam upaya memperbaiki kualitas udara.
Perbesar
Polusi udara di Jakarta dengan tingkat pencemaran yang berbahaya. Pada tanggal 16 Mei 2018, Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno mengatakan Jakarta berada di posisi pertama dalam indeks kualitas udara terburuk di dunia. Pemerintah juga menerapkan pembatasan lalu lintas dalam upaya memperbaiki kualitas udara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Elisa Sutanudjaja
Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Jika kita membuka salah satu aplikasi yang berfungsi mengukur tingkat pencemaran udara, kita akan mendapati bahwa Jakarta kerap berada di peringkat tiga besar, yaitu "Tidak Sehat". Jika ada pemeringkatan soal kota termacet di dunia, Jakarta pun sudah pasti masuk daftar atas. Kedua peringkat ini bukan prestasi yang membanggakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wakil Gubernur DKI Jakarta menyatakan bahwa pembangunan enam ruas jalan tol dalam kota akan dilanjutkan ke rute Sunter-Semanan. Terlepas dari janji politik Anies Baswedan dan Sandiaga Uno saat pemilihan Gubernur DKI, sesungguhnya enam ruas tol itu tidak akan membuat Jakarta keluar dari peringkat buruk di atas. Mengapa?

Bukan sekali ini saja ada kepala daerah DKI menjanjikan pembatalan enam ruas tol. Saat Joko Widodo berkampanye dalam pemilihan Gubernur DKI 2012, beliau juga menjanjikan hal yang sama. Bahkan, saat Jokowi menjadi presiden, enam ruas tol itu menjadi Proyek Strategis Nasional 2016.

Masuknya ruas tol tersebut sebagai Proyek Strategis Nasional juga merupakan bentuk ketidakjelasan komitmen pemerintah pusat dan daerah dalam menjalankan agenda perubahan iklim. Indonesia dalam Kesepakatan Paris berkomitmen mengurangi emisi hingga 29 persen pada 2030 dan bahkan kesepakatan itu sudah diratifikasi. Adapun DKI berkomitmen mengurangi 30 persen emisi pada 2030, seperti tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah 2018-2022.

Transportasi adalah salah satu penyumbang emisi terbesar, terutama di kawasan perkotaan. Mengapa pemerintah pusat maupun daerah seakan seia-sekata untuk mencederai komitmen tersebut?

Enam ruas tol tersebut akan melayang sepanjang 69,7 km di atas Semanan-Sunter, Sunter-Pulogadung, Duri Pulo-Kampung Melayu, Kampung Melayu-Kemayoran, Ulujami-Tanah Abang, dan Pasar Minggu-Casablanca. Sebagian besar deretan kolomnya akan berdiri di atas berbagai fasilitas dan infrastruktur publik, termasuk bantaran rel kereta api, Kanal Banjir Barat, jalan raya, hingga koridor Transjakarta.

Proses pembangunannya jelas akan mengganggu jalur Transjakarta dan berpotensi besar mengganggu jadwal kereta api Duri-Tangerang. Ketika Transjakarta bersusah-payah mencapai 500 ribu penumpang tiap hari, kini pemerintah DKI seakan-akan mengamini proses kerusakan pelan-pelan Koridor 3 Transjakarta. Enam ruas tol merupakan bentuk privatisasi jalan untuk meraup keuntungan dan berdampak negatif pada publik, tapi 80 persen jalurnya malah bertumpu dan berdiri di atas infrastruktur publik yang dibangun dari pajak rakyat.

Jalan baru akan mendorong penggunaan kendaraan bermotor dan bahkan, untuk kasus tol, akan mendorong penggunaan mobil. Jakarta adalah kota yang tidak punya strategi jelas untuk mengatasi kemacetan secara menyeluruh dan belum memperbarui pola transportasi makro.

Enam ruas tol itu juga akan menembus masuk dan membelah berbagai nadi kota. Dari Kota Tua kita bisa belajar bahwa setelah Kota Tua terbelah dua karena jalan layang pelabuhan, kualitas kawasan di sekitar jalan layang menurun secara drastis. Hingga kini, berbagai upaya menyatukan Kota Tua sisi utara dan selatan selalu berakhir dengan kegagalan.

Salah satu argumen kedua wakil gubernur, baik Basuki Purnama maupun Sandiaga Uno, adalah ruas tol tersebut penting bagi transportasi logistik. Namun mereka lupa akan ongkos kesehatan yang harus ditanggung masyarakat akibat penambahan polusi, terlebih karena tol tersebut melewati permukiman. Pada 2016 saja, kerugian akibat biaya kesehatan terkait dengan pencemaran udara yang ditanggung rakyat bernilai Rp 51 triliun.

Jalan layang tol tetap saja jalan layang untuk melaju kendaraan pribadi, berbayar, dan tetap berdaya rusak besar. Penambahan lajur transportasi umum hingga rencana fasilitas pembangunan berorientasi transit (TOD) hanyalah dekorasi tanpa guna. Jalan layang berada pada ketinggian minimal 12-25 meter dan tentunya mempersulit pencapaian pengguna dan integrasi dengan moda lain.

Lantas, apakah presiden, gubernur, dan wakil gubernur mau meninggalkan kota yang polutif, macet, berdebu, dan permukiman yang rusak kepada anak-cucu kita?

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus