Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Mitigasi Kekeringan dan Rawan Pangan

Kekeringan ekstrem telah menyebabkan krisis pangan. Mitigasi dapat dilakukan dengan membangun sistem irigasi suplemen.

15 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kekeringan yang terjadi di berbagai daerah telah menyebabkan krisis pangan.

  • Pemerintah dapat membangun sistem irigasi suplemen untuk mengatasi kekeringan ekstrem.

  • Lahan kering di Indonesia sangat potensial menjadi lahan pertanian produktif.

Totok Siswantara
Pengkaji Transformasi Teknologi & Infrastruktur dan Anggota Dewan Pakar Ikatan Alumni Program Habibie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bencana kekeringan terjadi di berbagai pelosok Tanah Air, yang menyebabkan krisis pangan dan masalah sanitasi air bersih. Salah satu daerah yang menjadi sorotan adalah Papua, khususnya Provinsi Papua Tengah. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sedikitnya 7.500 orang terkena dampak bencana kekeringan yang melanda Kabupaten Puncak, Papua Tengah. Lima orang dewasa dan seorang bayi di antaranya meninggal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk mengatasi masalah ini, semestinya ada usaha mitigasi. Salah satu caranya adalah menerapkan teknologi tepat guna, yakni sistem irigasi suplemen, untuk mengatasi kekeringan ekstrem di lahan tanaman pangan.

Kemarau berkepanjangan yang disertai cuaca dingin ekstrem juga menyebabkan gagal panen. Selain dengan inovasi teknologi pengairan, krisis pangan membutuhkan kepeloporan yang mampu memberikan penyuluhan kepada masyarakat, baik mengenai teknologi tepat guna pengairan, kesehatan, dan gizi maupun varietas unggul untuk meningkatkan produksi tanaman pangan lokal pada saat musim kemarau. Salah satu tanaman lokal tersebut adalah hipere, sebutan untuk ubi jalar oleh masyarakat di Pegunungan Tengah Papua. Hipere adalah tanaman budaya mereka.

Dengan adanya mitigasi bencana kekeringan, lahan kering di Indonesia sebenarnya sangat potensial untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian dengan produktivitas yang baik. Luas lahan kering itu mencapai lebih dari 140 juta hektare. Lahan kering hanya mengandalkan air hujan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan airnya. Karena itu, penggunaan air secara efisien merupakan fokus dalam usaha pertanian di lahan semacam ini. Teknologi pengairan, seperti sistem irigasi suplemen, dapat memfasilitasi pemenuhan kebutuhan air dengan tingkat efisiensi yang berbeda, tergantung jenis teknologi yang digunakan.

Kondisi kekeringan di Tanah Air, yang menyebabkan gagal tanam dan gagal panen, Sebenarnya tidak terlalu ekstrem jika dibanding kondisi belahan dunia yang mengalami kekeringan permanen, antara lain di kawasan Gurun Negev, Israel. Gurun ini sangat kering sepanjang tahun. Curah hujan rata-rata hanya sekitar 280 milimeter per tahun. Sebagai perbandingan, sebagian besar wilayah Indonesia memiliki curah hujan 2.000-3.000 milimeter per tahun. Ada sedikit wilayah yang curah hujannya 500-1.000 milimeter, seperti Palu dan Nusa Tenggara Timur.

Meski kering, kini Gurun Negev berhasil menjadi lumbung pangan berkat inovasi teknologi pengairan yang populer sebagai sistem kibbutz—dijalankan dalam komunitas khas masyarakat Israel yang disebut kibbutz. Dengan program tersebut, Gurun Negev berubah menjadi hutan dan area pertanian yang sangat produktif.

Sistem pengairan kibbutz merupakan transformasi lahan kering yang berhasil. Sistem ini ditopang infrastruktur National Water Carrier, yang mengalirkan air laut dengan pipa raksasa dari Laut Galilea yang terletak di utara Israel menuju Gurun Negev di selatan. Pipa-pipa raksasa itu tersambung dengan sistem irigasi tetes yang berada di bawah permukaan gurun. Sistem kibbutz juga menyangkut pranata untuk mengelola sistem pertanian dan komoditas yang dipilih, sehingga masalah musim, cuaca ekstrem, atau bencana alam tidak berpengaruh terhadap produksi pertanian.

Perlu pendekatan budaya dan rekayasa sosial untuk mengatasi krisis pangan akibat bencana kekeringan di pelosok daerah yang berbasis bahan pangan lokal. Spirit untuk menanam pangan lokal jangan tergusur oleh bahan pangan dari luar daerah. Karena itu, perlu digencarkan acara-acara budaya untuk meningkatkan semangat penduduk menanam pangan lokal.

Penyuluhan pertanian yang tepat, penggunaan varietas unggul, dan penerapan teknologi pengairan yang adaptif terhadap kondisi kekeringan ekstrem perlu digencarkan. Perlu pula mencetak petani milenial sebanyak-banyaknya di Papua dan daerah lain yang rawan bencana kekeringan agar daerah tersebut menjadi lumbung pangan yang signifikan. Menurut Badan Pangan Nasional, ada 10 kabupaten yang memiliki ketahanan pangan terendah secara nasional pada 2021. Semuanya di Papua, yakni Nduga, Intan Jaya, Mamberamo Tengah, Puncak, Lanny Jaya, Puncak Jaya, Yahukimo, Yalimo, Dogiyai, dan Mamberamo Raya.

Program intensifikasi penanaman pangan lokal, seperti hipere di Papua, dapat juga menjadi contoh. Namun selama ini teknik budi daya hipere masih dilakukan masyarakat setempat dengan cara tradisional, yang diwariskan nenek moyang mereka secara turun-temurun. Petani menanam ubi jalar pada tumpukan-tumpukan tanah berbentuk gundukan tunggal yang disebut cuming. Di atas cuming ditanam bibit ubi jalar. Cara ini sangat rentan terhadap bencana kekeringan ekstrem. Namun, jika diterapkan teknologi pengairan yang tepat, hasilnya bisa optimal.

Varietas yang ditanam petani umumnya adalah varietas lokal hipere, yakni Ngelaleke. Selain itu, petani sudah mengadopsi varietas Papua Solossa, Papua Patippi, dan Cangkuang, yang merupakan hasil pengembangan Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi) Kementerian Pertanian, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua, serta Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR).

Pengembangan sistem irigasi suplemen atau irigasi tetes untuk tanaman hipere perlu dilakukan. Teknologi ini diperlukan sebagai pelengkap apabila curah hujan tidak mencukupi untuk mengkompensasi kehilangan air tanaman yang disebabkan oleh evapotranspirasi, penguapan air dari permukaan tanah dan tumbuhan. Irigasi suplemen bertujuan memberikan air yang dibutuhkan tanaman pada waktu, volume, dan interval yang tepat. Dengan menghitung neraca air tanah harian di zona perakaran, volume dan interval irigasi dapat direncanakan. Untuk meminimalkan kehilangan air dalam bentuk aliran permukaan dan perkolasi, jumlah irigasi suplemen yang diberikan harus sama atau lebih kecil dari kapasitas tanah yang menyimpan air di zona perakaran.



PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Totok Siswantara

Totok Siswantara

Pengkaji Transformasi Teknologi dan Infrastruktur dan Anggota Dewan Pakar Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE)

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus