Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ELIAS mengundang Don Crisotomo Ibarra ke perahunya. Ia ingin
berbicara dengan pemuda keturunan tuan tanah yang kaya raya itu
tentang sebuah gagasan.
Matahari sudah terbenam. Dan karena di daerah khatulistiwa
hampir tak ada senja, bayang-bayang menyebar menyambut sinar
bulan. Filipina mulai dibungkus malam.
"Tuan," Elias mulai bicara dengan nada menyedihkan, ketika
perahu sudah jauh dari pantai, "saya ini utusan orang banyak
yang tidak beruntung."
"Dapatkah aku melakukan sesuatu untuk mereka?"
"Banyak, Tuan, lebih banyak dari siapa pun juga."
Lalu Elias pun bercerita singkat tentang percakapannya dengan
pemimpin "orang-orang yang tak dilindungi undang-undang". Mereka
ini, kata Elias, menghendaki agar pemerintah kolonial Spanyol di
Filipina mengadakan pembaharuan.
Pembaharuan? Dalam arti yang bagaimana?", tanya Ibarra.
Dalam arti "lebih menghormati martabat manusia," jawab Elias.
"Lebih menjamin keamanan perseorangan, lebih mengurangi
kekerasan angkatan bersenjata, lebih mengurangi hak-hak istimewa
bagi organisasi-organisasi yang sangat muda menyalahgunakannya."
Ibarra mengerti. Namun latar belakang hidupnya, kenalannya yang
banyak di kalangan atas, dan kecenderungan hatinya yang lembut,
menyebabkan ia bukan orang radikal. Meskipun keadaan sekarang
ini "banyak cacat celanya," begitulah ia menjawab Elias, "jika
diadakan perubahan-perubahan pasti akibatnya akan lebih gawat
lagi." Apa yang dilakukan lembaga kekuasaan yang ada, betapa pun
kurang baiknya, bagi Ibarra merupakan "keterpaksaan". "Itulah
yang kita namakan suatu kejahatan yang terpaksa harus
dilakukan."
Elias terperanjat. Ia tak menduga agaknya bahwa anak muda yang
baru pulang dari Eropa itu, yang penuh dengan rasa cinta tanah
air itu, akan bisa begitu pemaaf kepada pemerintah Spanyol, dan
menyetujui prinsip, bahwa maksud baik harus bisa melalui sikap
yang jahat.
Ada memang sesuatu yang agak tak terduga dalam diri Elias,
"utusan orang banyak yang tidak beruntung" ini. Seluruh riwayat
hidupnya penuh dengan penderitaan oleh kekerasan dan
kesewenang-wenangan: neneknya terpaksa jadi pelacur, seorang
pamannya jadi penjahat dan dipotong kepalanya, ayahnya dihinakan
dan terpaksa menyamar jadi pelayan anak-anak sendiri. Tapi Elias
tak putus asa: "Saya tidak akan melakukan sesuatu tindakan yang
keras untuk mencapai tujuan ini, selama saya masih melihat
sedikit harapan pada manusia."
Crisotomo Ibarra sebaliknya. Di tengah danau itu ia membela
pemerintah yang baginya ibarat dokter yang harus menyembuhkan
penyakit. "Pemerintah merasa terpaksa menggunakan cara-cara yang
demikian kejam dan bilamana perlu dengan kekerasan berguna
meskipun terpaksa." Tapi kemudian, ketika ia kecewa kepada
pemerintah itu, ia memilih jalan peperangan.
"Yang kukehendaki hanya kebaikan. Aku menaruh hormat dan tahan
menderita apa pun, demi agama, demi tanah air. Apa balasan
mereka? Menguburku dalam sebuah penjara yang kotor dan merampas
calon istriku !"
Dan dengan itu dibulatkannya tekad, untuk membalas, agar
kezaliman baru tidak terjadi. Ia akan berseru kepada rakyat yang
tertindas dan mencegah mereka "berpikir atas dasar
persaudaraan". Persaudaraan dengan si lalim adalah ilusi. Yang
harus dilakukan ialah pembebasan: "membasmi penindasan ini dan
menyatakan hak-hak abadi manusia untuk memperoleh kemerdekaan".
Seorang yang bukan radikal, dengan kata lain, telah beralih jadi
seorang pemberontak.
Dan mungkin karena itulah kisah Elias dan Ibarra -- dua dari
sejumlah tokoh novel Jose Rizal yang termasyhur, Noli Me Tangere
(yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan
bagusnya delapan tahun yang lalu) -- menjadi kisah yang kekal,
begitu ia selesai ditulis oleh pahlawan Filipina itu di tahun
1887.
Rizal tidak mencoba memecahkan soal dalam tingkat teoritis: ia
tidak berpetuah. Ia menunjukkan pilihan antara "pembaharuan
radikal tanpa kekerasan" dan "pembebasan tanpa ilusi" sebagai
pilihan yang hanya bisa dijawab secara eksistensial kita harus
mengalaminya, untuk kemudian memutuskan sendiri.
Ketika Benigno Aquino pulang ke tanah airnya, untuk mencoba
sebuah cara beroposisi yang berani tapi damai, mungkin ia
berilusi. Sebuah peluru merusak tengkoraknya. Tapi itulah
pilihannya, seperti pilihan Elias yang ditembaki di dalam air.
Lalu tinggallah Filipina untuk menyaksikan: bisakah sebuah
negeri yang melenyapkan oposisi yang damai dapat mengelak dari
perlawanan yang keras dalam semangat Crisotomo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo