Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Benigno aquino

3 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ELIAS mengundang Don Crisotomo Ibarra ke perahunya. Ia ingin berbicara dengan pemuda keturunan tuan tanah yang kaya raya itu tentang sebuah gagasan. Matahari sudah terbenam. Dan karena di daerah khatulistiwa hampir tak ada senja, bayang-bayang menyebar menyambut sinar bulan. Filipina mulai dibungkus malam. "Tuan," Elias mulai bicara dengan nada menyedihkan, ketika perahu sudah jauh dari pantai, "saya ini utusan orang banyak yang tidak beruntung." "Dapatkah aku melakukan sesuatu untuk mereka?" "Banyak, Tuan, lebih banyak dari siapa pun juga." Lalu Elias pun bercerita singkat tentang percakapannya dengan pemimpin "orang-orang yang tak dilindungi undang-undang". Mereka ini, kata Elias, menghendaki agar pemerintah kolonial Spanyol di Filipina mengadakan pembaharuan. Pembaharuan? Dalam arti yang bagaimana?", tanya Ibarra. Dalam arti "lebih menghormati martabat manusia," jawab Elias. "Lebih menjamin keamanan perseorangan, lebih mengurangi kekerasan angkatan bersenjata, lebih mengurangi hak-hak istimewa bagi organisasi-organisasi yang sangat muda menyalahgunakannya." Ibarra mengerti. Namun latar belakang hidupnya, kenalannya yang banyak di kalangan atas, dan kecenderungan hatinya yang lembut, menyebabkan ia bukan orang radikal. Meskipun keadaan sekarang ini "banyak cacat celanya," begitulah ia menjawab Elias, "jika diadakan perubahan-perubahan pasti akibatnya akan lebih gawat lagi." Apa yang dilakukan lembaga kekuasaan yang ada, betapa pun kurang baiknya, bagi Ibarra merupakan "keterpaksaan". "Itulah yang kita namakan suatu kejahatan yang terpaksa harus dilakukan." Elias terperanjat. Ia tak menduga agaknya bahwa anak muda yang baru pulang dari Eropa itu, yang penuh dengan rasa cinta tanah air itu, akan bisa begitu pemaaf kepada pemerintah Spanyol, dan menyetujui prinsip, bahwa maksud baik harus bisa melalui sikap yang jahat. Ada memang sesuatu yang agak tak terduga dalam diri Elias, "utusan orang banyak yang tidak beruntung" ini. Seluruh riwayat hidupnya penuh dengan penderitaan oleh kekerasan dan kesewenang-wenangan: neneknya terpaksa jadi pelacur, seorang pamannya jadi penjahat dan dipotong kepalanya, ayahnya dihinakan dan terpaksa menyamar jadi pelayan anak-anak sendiri. Tapi Elias tak putus asa: "Saya tidak akan melakukan sesuatu tindakan yang keras untuk mencapai tujuan ini, selama saya masih melihat sedikit harapan pada manusia." Crisotomo Ibarra sebaliknya. Di tengah danau itu ia membela pemerintah yang baginya ibarat dokter yang harus menyembuhkan penyakit. "Pemerintah merasa terpaksa menggunakan cara-cara yang demikian kejam dan bilamana perlu dengan kekerasan berguna meskipun terpaksa." Tapi kemudian, ketika ia kecewa kepada pemerintah itu, ia memilih jalan peperangan. "Yang kukehendaki hanya kebaikan. Aku menaruh hormat dan tahan menderita apa pun, demi agama, demi tanah air. Apa balasan mereka? Menguburku dalam sebuah penjara yang kotor dan merampas calon istriku !" Dan dengan itu dibulatkannya tekad, untuk membalas, agar kezaliman baru tidak terjadi. Ia akan berseru kepada rakyat yang tertindas dan mencegah mereka "berpikir atas dasar persaudaraan". Persaudaraan dengan si lalim adalah ilusi. Yang harus dilakukan ialah pembebasan: "membasmi penindasan ini dan menyatakan hak-hak abadi manusia untuk memperoleh kemerdekaan". Seorang yang bukan radikal, dengan kata lain, telah beralih jadi seorang pemberontak. Dan mungkin karena itulah kisah Elias dan Ibarra -- dua dari sejumlah tokoh novel Jose Rizal yang termasyhur, Noli Me Tangere (yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan bagusnya delapan tahun yang lalu) -- menjadi kisah yang kekal, begitu ia selesai ditulis oleh pahlawan Filipina itu di tahun 1887. Rizal tidak mencoba memecahkan soal dalam tingkat teoritis: ia tidak berpetuah. Ia menunjukkan pilihan antara "pembaharuan radikal tanpa kekerasan" dan "pembebasan tanpa ilusi" sebagai pilihan yang hanya bisa dijawab secara eksistensial kita harus mengalaminya, untuk kemudian memutuskan sendiri. Ketika Benigno Aquino pulang ke tanah airnya, untuk mencoba sebuah cara beroposisi yang berani tapi damai, mungkin ia berilusi. Sebuah peluru merusak tengkoraknya. Tapi itulah pilihannya, seperti pilihan Elias yang ditembaki di dalam air. Lalu tinggallah Filipina untuk menyaksikan: bisakah sebuah negeri yang melenyapkan oposisi yang damai dapat mengelak dari perlawanan yang keras dalam semangat Crisotomo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus